Another Source

Join The Community

Premium WordPress Themes

Rabu, 22 Desember 2010

BAYU-PERMATA KALIMANTAN


Guru Zaini Cara2 sholat.3gp


Habib Syekh Assegaf - Bijahil Musthofal Mukhtar.wmv


Selasa, 21 Desember 2010

RIWAYAT DATU SANGGUL


(Datu Sanggul, Rantau)
Menurut riwayat, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pernah bertemu dengan DatuSanggul sewaktu masih menuntut ilmu di Mekkah. Dalam beberapa kali
pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?
Berdasarkan tutur lisan yang berkembang dalam masyarakat dan beberapa catatan dari beberapa orang penulis buku, sepengetahuan penulis setidaknya ada tiga versi yang menjelaskan tentang sosok dan kiprah Datu Sanggul.
Versi Pertama menyatakan bahwa Datu Sanggul adalah putra asli Banjar. Kehadirannya menjadi penting dan lebih dikenal sejarah lewat lisan dan berita Syekh Muhammad Arsyad yang bertemu dengannya ketika beliau masih belajar di Mekkah. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Datu Sanggul pernah berbagi ilmu dengan Syekh Muhammad Arsyad dan melahirkan satu kitab yang disebut dengan kitab Barencong yang isinya menguraikan tentang ilmu tasawuf atau rahasia-rahasia ketuhanan dan sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan serta diragukan keberadaannya, karena tidak pernah ditemukan naskahnya. Namun walaupun demikian pengertian dari kitab Barencong itu sendiri dapat kita tinjau dan pahami dari dua sisi, yakni pemahaman secara tersurat dan secara tersirat. Secara tersurat boleh jadi kitab tersebut memang ada, berbentuk seperti umumnya sebuah buku dan ditulis bersama sebagai suatu konsensus keilmuan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan Datu Sanggul (hal ini menggambarkan adanya pengakuan dari Syekh Muhammad Arsyad akan ketinggian ilmu tasawuf Datu Sanggul).
Kemudian secara tersirat dapat pula dipahami bahwa maksud kitab Barencong tersebut adalah simbol dari pemahaman ketuhanan Syekh Muhammad Arsyad yang mendasarkan tasawufnya dari langit turun ke bumi dan simbol pemahamanan tasawuf Datu Sanggul dari bumi naik ke langit. Maksudnya kalau Syekh Muhammad Arsyad belajar ilmu ketuhanan dan tasawuf berdasarkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw dan tergambar dalam Shirah hidup beliau, sahabat dan orang-orang sholeh sedangkan Datu Sanggul mengenal hakikat Tuhan berdasarkan apa-apa yang telah diciptakan-Nya (alam), sehingga dari pemahaman terhadap alam itulah menyampaikannya kepada kebenaran sejati yakni Allah, karena memang pada alam dan bahkan pada diri manusia terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi mereka yang mentafakurinya. Dengan kata lain ilmu tasawuf Datu Sanggul adalah ilmu laduni yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Karena itulah orang yang ingin mempelajari ilmu tasawuf pada dasarnya harus menggabungkan dua sumber acuan pokok, yakni berdasarkan wahyu (qauliyah) dan berdasarkan ayat-ayatNya “tanda-tanda” (qauniyah) yang terpampang jelas pada alam atau makhluk ciptaanNya.
Versi Kedua, menurut Zafri Zamzam (1974) Datu Sanggul yang dikenal pula sebagai Datu Muning adalah ulama yang aktif berdakwah di daerah bagian selatan Banjarmasin (Rantau dan sekitarnya), ia giat mengusahakan/memberi tiang-tiang kayu besi bagi orang-orang yang mendirikan masjid, sehingga pokok kayu ulin besar bekas tebangan Datu Sanggul di Kampung Pungguh (Kabupaten Barito Utara) dan pancangan tiang ulin di pedalaman Kampung Dayak Batung (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) serta makam beliau yang panjang di Kampung Tatakan (Kabupaten Tapin) masih dikenal hingga sekarang. Salah satu karya spektakulernya yang masih dikenang hingga kini adalah membuat tatalan atau tatakan kayu menjadi soko guru masjid desa Tatakan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga ketika membuat soko guru dari tatalan kayu untuk masjid Demak. Tidak ada yang tahu siapa nama asli tokoh ini, sebutan Datu Sanggul adalah nama yang diberikan oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika beliau menjawab tidak memakai ilmu atau bacaan tertentu, kecuali “hanya menjaga keluar masuknya nafas, kapan ia masuk dan kapan ia keluar”, sehingga dapat secara rutin pulang pergi sholat ke Masjidil Haram setiap hari Jumat.
Versi ketiga, berdasarkan buku yang disusun oleh H.M. Marwan (2000) menjelaskan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Syekh Abdus Samad, ia berasal dari Aceh (versi lain menyebutkan dari Hadramaut dan dari Palembang). Sebelumnya Datu Sanggul sudah menuntut ilmu di Banten dan di Palembang, ia menjadi murid ketiga dari Datu Suban yang merupakan mahaguru para datu yang ahli agama dan mendalami ilmu Tasawuf asal Pantai Jati Munggu Karikil, Muning Tatakan Rantau. Informasi lain yang berkembang juga ada yang menyatakan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Ahmad Sirajul Huda atau Syekh Jalil. Datu Sanggul atau Syekh Abdus Samad satu-satunya murid yang dipercaya oleh Datu Suban untuk menerima kitab yang terkenal dengan sebutan kitab Barincong, beliau juga dianggap memiliki ilmu kewalian, sehingga teristimewa di antara ketigabelas orang murid Datu Suban.
Datu Sanggul lebih muda wafat, yakni di tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar. Berkat keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian ilmu Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang asalnya menganggap “Sang Datu” sebagai orang yang tidak pernah shalat Jumat sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi hormat setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang sebenarnya.
Banyak cerita yang lisan yang beredar di masyarakat berkenaan dengan keramat Datu Sanggul. Diceritakan bahwa Kampung Tatakan pernah dilanda Banjir, akibat hujan lebat, sehingga jalan-jalan di Kampung tergenang oleh air. Pas ketika hari Jumat, biasanya orang kalau mengambil air wudhu di sungai yang mengalir, dengan duduk di batang. Tetapi ketika Datu Sanggul datang dan berwudhu dalam penglihatan orang-orang di masjid beliau menceburkan diri ke sungai, tetapi anehnya ketika naik, badan beliau tidak basah.
Jamaah Masjid juga pernah menyaksikan ketika shalat, dalam beberapa menit
tubuh Datu Sanggul melayang di udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat, sampai yang terakhir di Tatakan.
Berdasarkan paparan di atas menjadi satu catatan penting, untuk menggagas kembali penelitian sejarah yang mengungkapkan riwayat hidup tokoh sentral masyarakat Tapin ini secara detail, guna melengkapi dan memperkaya khazanah tulisan-tulisan yang sudah ada mengenai riwayat hidup, sejarah perjuangan dan kiprah beliau di Bumi Kalimantan, seperti “Riwayat Datu Sanggul dan Datu-Datu” oleh sejarawan Banjar Drs. H. A. Gazali Usman, atau pula “Manakib Datu Sanggul”, oleh H.M. Marwan. Tenut saja, agar generasi yang hidup di masa sekarang dan masa mendatang tidak pangling
terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi “maskot” daerah mereka. Dalam artian bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak positif sesuai prinsip ajaran agama yang telah ditorehkannya.
Wallahua’lam.


KH.ZAINI GHANI AL BANJARI- GURU SEKUMPUL

KH.Zaini Ghani
KH.Zaini Ghani
Profil Abah Guru
Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil dengan nama Qusyairi adalah anak dari perkawinan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf dengan Hj Masliah binti H Mulya. Muhammad Zaini Ghani merupakan anak pertama, sedangkan adiknya bernama H Rahmah.
Beliau dilahirkan di Tunggul Irang, Dalam Pagar, Martapura pada malam Rabu tanggal 27 Muharram 1361 H bertepatan dengan tanggal 11 Februari 1942 M.
Diceriterakan oleh Abu Daudi, Asy Syekh Muhammad Ghani sejak kecil selalu berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Kedua orang ini yang memelihara Qusyairi kecil. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan. Keduanya juga menanamkan pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar membaca Alquran. Karena itulah, Abu Daudi meyakini, guru pertama dari Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani adalah ayah dan neneknya sendiri.
Semenjak kecil beliau sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama. Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium tangannya.
Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, beliau mengikuti pendidikan “formal” masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Guru-guru beliau pada masa itu antara lain, Guru Abdul Muiz, Guru Sulaiman, Guru Muhammad Zein, Guru H. Abdul Hamid Husain, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru Husin Dahlan, Guru H. Salman Yusuf. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Pada masa ini beliau sudah belajar dengan Guru-guru besar yang spesialist dalam bidang keilmuan seperti al-Alim al-Fadhil Sya’rani Arif, al-Alim al-Fadhil Husain Qadri, al-Alim al-Fadhil Salim Ma’ruf, al-Alim al-Allamah Syaikh Seman Mulya, al-Alim Syaikh Salman Jalil, al-Alim al-Fadhil Sya’rani Arif, al-Alim al-Fadhil al-Hafizh Syaikh Nashrun Thahir, dan KH. Aini Kandangan. Tiga yang terakhir merupakan guru beliau yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.
Kalau kita cermati deretan guru-guru beliau pada saat itu adalah tokoh-tokoh besar yang sudah tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya. Walaupun saya tidak begitu mengenal secara mendalam tetapi kita mengenal Ulama yang tawadhu KH. Husin Qadri lewat buku-buku beliau seperti Senjata Mukmin yang banyak dicetak di Kal-Sel. Sedangkan al-Alim al-Allamah Seman Mulya, dan al-Alim Syaikh Salman Jalil, ingin rasanya berguru dan bertemu muka ketika masih hidup. Syaikh Seman Mulya adalah paman beliau yang secara intensif mendidik beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Tapi Guru Seman langsung mengajak dan mengantarkan beliau mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan) maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, guru Seman mengajak (mengantarkan) beliau kepada al-Alim al-Allamah Syaikh Anang Sya’rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulya adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui ketinggian dan kedalamannya yaitu beliau dan al-marhum KH. Hanafiah Gobet). Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Beliau ini pada masa tuanya kembali berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang beliau contohkan kepada kami agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.
Selain itu, di antara guru-guru beliau lagi selanjutnya adalah Syaikh Syarwani Abdan (Bangil) dan al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi. Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah). Dari beberapa guru beliau lagi adalah Kyai Falak (Bogor), Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah), Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail al-Yamani, dan Syaikh Abdul Kadir al-Bar. Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah al-Alim al-Allamah Ali Junaidi (Berau) bin al-Alim al-Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin al-Alim al-Allamah Mufti Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan al -Alim al-Allamah Muhammad Syarwani Abdan Bangil. (Selain ini, masih banyak tokoh lagi di mana sebagiannya sempat saya catat dan sebagian lagi tidak sempat karena waktu itu beliau menyebutkannya dengan sangat cepat. Sempat saya hitung dalam jumblah kira-kira, guru beliau ada sekitar 179 orang sepesialis bidang keilmuan Islam terdiri dari wilayah Kalimantan sendiri, dari Jawa-Madura, dan dari Makkah).
Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamanda beliau semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil beliau sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnda beliau sendiri. Seperti misalnya suatu ketika hujan turun deras sedangkan rumah beliau sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayah beliau menelungkupi beliau untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Syekh Muhammad Ghani juga adalah seorang pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang beliau sampaikan kepada kami lewat cerita-cerita itu.
Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah Sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, beliau sampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustazd kami pernah mengomentari hal
ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegur beliau, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan: Beliau sudah hapal al-Qur`an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulan beliau betul-betul dijaga. Kemanapun bepergian selalu ditemani (saya lupa nama sepupu beliau yang ditugaskan oleh Syaikh Seman Mulya untuk menemani beliau). Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamanda beliau Syaikh Seman Mulya di hadapan beliau dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syaikh, begitu juga sepupu yang menjadi “bodyguard’ beliau. Beliaupun langsung pulang ke rumah.
Pada usia 9 tahun pas malam jum’at beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jum’at ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk beliau melihat masih banyak kursi yang kosong.
Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.
Salah satu pesan beliau tentang karamah adalah agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi shalatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi “bakarmi” (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Selain sebagai ulama yang ramah dan kasih sayang kepada setiap orang, beliau juga orang yang tegas dan tidak segan-segan kepada penguasa apabila menyimpang. Karena itu, beliau menolak undangan Soeharto untuk mengikuti acara halal bil halal di Jakarta. Begitu juga dalam pengajian-pengajian, tidak kurang-kurangnya beliau menyampaikan kritikan dan teguran kepada penguasa baik Gubernur, Bupati atau jajaran lainnya dalam suatu masalah yang beliau anggap menyimpang atau tidak tepat.
Pada hari Rabu 10 Agustus 2005 jam 05.10 pagi beliau telah berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun.
Salam Hormatku kepada Abah Guru.


Syekh Syarwani Abdan


Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari adalah seorang ulama kharismatik yang memiliki kedudukan yang agung dan keilmuan yang tinggi disisi Allah SWT. Sejak beliau kecil sudah terbina iman tauhid dan hati yang bersih untuk bermunazat kepada Dzat Yang Maha Agung dan Suci. Siapa yang tidak mengenal ketawadhuan dan kearifan Beliau dalam menegakkan Dakwah Islam dan menyejukkan jutaan hati Hamba Allah agar selalu MengingatNYa. Sungguh Orang yang berjalan untuk mencari ilmu dan mendatangi Majelis Ilmu yang beliau pimpin mendapatkan karunia dariNya.

Riwayat Singkat Tuan Guru Syech Sarwani Abdan Al Banjari


Syech Allah Yarham Al Mukarramah Al Alimul Allamah Al Fadil Syarwani Abdan atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Bangil adalah cicit buyut dari ulama terkenal diseantero Asia dan Saudi Arabia, pada usia sekolah beliau menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam (madrasah darussalam) Martapura yang saat itu dipimpin oleh paman beliau sendiri yaitu Al Alimul Allamah Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar bin H. Ismail. Beliau juga belajar dengan para Alim Ulama terkenal lainnya di Kota Martapura.
Setelah beberapa lama di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, Tuan Guru Syarwani Abdan berkeinginan untuk menuntut ilmu dan mendapati Kota Bangil sebagai tujuan memperdalam ilmu dengan Alim Ulama lainnya. Beliau akhirnya memutuskan untuk bermukim di Kota Bangil dan belajar kepada Ulama Terkenal di Bangil dan Pasuruan diantaranya KH. Muhdar Gondang Bangil, KH. Abu Hasan Wetan Angun Bangil, KH. Bajuri Bangil dan KH. Ahmad Jufri Pasuruan.
Menginjak usia 16 tahun, Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari dengan dasar keilmuan yang tinggi berangkat ke Tanah Suci Mekkah Al Mukarramah untuk menuntut ilmu bersama saudara sepupu beliau yakni Al Alimul Allamah Tuan Guru Anang Sya’rani Arif dibawah bimbingan paman beliau sendiri yakni Al Allimul Allamah Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar. Selama berada di Mekkah, Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari sempat belajar dan berguru dengan para ulama diantaranya, Syech Sayyid Muhammad Amin Alkutbi, Syech Sayyid Ali Al Maliki, Syech Umar Hamdan, Syech Muhammad Alwi, Syech Hasan Masysyat, Syech Abdullah Albukhari, Syech Saifullah Addakistan, Syech Syafi’i Keddah dan Syech Sulaiman Ambon serta Syech Ahyat Bogor.
Dengan berkat, taufik dan hidayah dari Allah SWT, hanya dalam beberapa tahun Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari dan Al Alimul Allamah Tuan Guru Anang Sya’rani Arif mulai dikenal diantara teman-teman dan para Alim Ulama karena kepandaian dan kedalaman ilmu keduanya, sehingga mereka dijuluki Mutiara dari Banjar, bahkan Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan mendapat kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram Mekkah. Setelah berjalannya waktu hingga 10 tahun lamanya menimba ilmu di Tanah Suci Mekkah, Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari dan Al Alimul Allamah Tuan Guru Anang Sya’rani Arif Al Banjari pulang ke Indonesia. Setelah berada di tanah air beliau menggelar pengajian majelis ta’lim di rumah dan mengajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Beliau juga pernah ditawi untuk menduduki jabatan Qadhi Martapura, namun beliau tolak dan beliau lebih senang mandiri dan berkhidmat dalam dunia pendidikan agama. Lebih kurang dalam tahun 1946, Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari memutuskan hijrah ke Bangil beserta seluruh keluarga hingga akhir hayatnya.
Sewaktu di Kota Bangil Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari tidak mau membuka pengajian dikarenakan begitu tawadhunya beliau dan menyadari bahwa Bangil bukan wilayah Beliau. Namun para Alim Ulama di Jawa Timur menyadari dan mengetahui ketinggian ilmu dan Wara nya Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari sehingga bagaimanapun beliau menyembunyikan ilmu dan amal beliau namun diketahui jua oleh Alim Ulama Jawa Timur.

Mendirikan Pondok Pesantren Datu Kelampaian di Bangil
Setelah beberapa tahun menetap di Kota Bangil, maka lebih kurang dalam Tahun 1970 an barulah Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari membuka Pondok Pesantren DATU KELAMPAIAN yang santrinya kebanyakan berasal dari Kota Serambi Mekkah Martapura Kalimantan Selatan, diantara santri yang pertama kali belajar belajar di Pondok Pesantren ini adalah Muhammad As’ad bin Alimul Fadhil Qadhi H. Muahmmad Arfan Dalam Pagar Martapura.
Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari menulis Kitab diantaranya adalah :
1. Kitab Addakhiratussaminah Li Ahli Istiqomah (Simpanan berharga bagi orang yang istiqomah).
Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari pada hari senin Jam 19.00 WIB pada tanggal 11 September 1989 dipanggil kepangkuan Allah SWT dalam usia 76 tahun dan dimakamkan di Kota Bangil.
Semoga Guru Bangil yang kita cintai ditinggikan derajatnya disisi Allah SWT. Amien
(red : memohon maaf yang sebesar-besar, minta ridho dan minta halal apabila dalam penulisan ini terdapat kekeliruan/kesalahan dikarenakan kurangnya pengetahuan dalam diri penulis, terima kasih)


SYEKH SYIHABUDDIN AL-BANJARI

DALAM beberapa keluaran Bahagian Agama, Utusan Malaysia yang lalu, saya menulis tentang ulama-ulama Banjar yang sangat erat hubungan dengan ulama ini.Di antaranya ialah artikel bertajuk Muhammad Thaiyib Penerus Tradisi Ulama Banjar (8 Januari 2007).Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari adalah cucu saudara pada ulama yang sedang dibicarakan ini. Datuk kepada Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari bernama Kadi Abu Su’ud adalah adik beradik dengan Syeikh Syihabuddin. Ayah mereka ialah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan ibu mereka pula ialah Tuan Baiduri (Bidur).Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mempunyai 30 adik-beradik yang satu ayah saja, kerana Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari berkahwin sebanyak 11 kali.Di antara adik-beradik Syeikh Syihabuddin al-Banjari, yang satu ayah termasuklah Mufti Jamaluddin al-Banjari.PendidikanSyeikh Syihabuddin mendapat pendidikan dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan melanjutkan pendidikan di Mekah. Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Saiyid Ahmad al-Marzuqi dan lain-lain.Untuk menghadapi pelbagai cabaran dunia, Syeikh Syihabuddin menerima beberapa amalan dari ayahnya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Saya sendiri ada sanad mengenai yang tersebut yang saya terima di Sapat, Inderagiri pada Isnin, 10 Rabiulakhir 1406 H/22 Disember 1985 dari Tuan Guru Haji Muhammad As'ad.Beliau menerima dari ayahnya Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq menerima dari ayahnya Syeikh Muhammad Afif al-Banjari. Syeikh Muhammad Afif menerima dari Syeikh Syihabuddin al-Banjari. Syeikh Syihabuddin menerima dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.Amalan yang tersebut ada persamaan dengan salah satu amalan yang termaktub dalam naskhah peninggalan pahlawan Mat Kilau. Ada kemungkinan Mat Kilau turut menerimanya dari Syeikh Syihabuddin al-Banjari.Syeikh Syihabuddin adalah putera Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari isterinya bernama Baiduri (Bidur). Adik beradik satu ayah dan satu ibu (saudara kandung) dengan Syeikh Syihabuddin ada tiga orang dengan urutan:1. Al-Alim al-Allamah Kadi Haji Abu Su’ud.2. Al-‘Alim al-Allamah Kadi Haji Abu Na’im.3. Sa’idah.4. Al-Alim al-Allamah Khalifah Haji Syihabuddin (yang sedang dibicarakan).Kadi Haji Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (nombor 1) mewarisi ilmu secara langsung dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, selanjutnya menjadi Kadi yang pertama di Banjar dan beliau juga seorang pahlawan.Perkahwinan yang pertama dengan Aminah memperoleh anak seorang ulama, Alimul Allamah Haji Muhammad Sa’id Jazuli. Sewaktu kembali menunaikan haji kahwin lagi di Kedah memperoleh seorang putera, bernama Syeikh Muhammad Mas’ud (dapat dirujuk dalam riwayat Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari dan Tuan Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar, 16 Ogos 2004.IlmuAlimul Allamah Kadi Haji Abu Na’im (no. 2), beliau juga memperoleh ilmu langsung dari ayahnya, beliau menjadi Kadi yang kedua di Banjar. Anak Kadi Haji Abu Na’im ialah Haji Muhammad Afif. Anak Haji Muhammad Afif ialah Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri. Beliau inilah ulama yang pertama menyusun sejarah mereka yang diberi judul Syajarah al-Arsyadiyah.Alimul Allamah Haji Syihabuddin (no. 4) juga mewarisi ilmu dari ayahnya. Syeikh Syihabuddin adalah seorang Khalifah Mufti dan Kadi. Beliau menurunkan beberapa orang ulama di antaranya Alimul Allamah Mufti Haji Abdul Jalil dan Alimul Allamah Haji As’ad Fakhruddin.Tahun 1258 H/1842, Raja-raja Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti minta kesediaannya menjadi guru di Kerajaan Riau-Lingga. Raja Ali Haji dalam karangannya yang terkenal berjudul Tuhfatun Nafis telah menyebut peranan ulama Banjar di kerajaan Riau. Di antaranya Haji Hamim yang diangkat Engku Haji Abdullah sebagai wakilnya di negeri Lingga.Raja Ali Haji menulis: “Al-Kisah maka tersebutlah perkataan saudara Yang Di Pertuan Muda Raja Abdur Rahman itu, iaitu Raja Haji Abdullah yang dalam negeri Makkatul Musyarrafah itu. Maka apabila sampai ia setahun di dalam negeri Makkatul Musyarrafah itu, maka ia pun turunlah dari Mekah itu ke Jeddah.“Dan dari Jeddah selalu balik ke bawah angin serta ada ia membawa satu orang alim namanya Syeikh Ahmad Jabarti dan seorang lagi orang Banjar anak Syeikh Muhammad Arsyad Banjar yang masyhur dengan alim besar di bawah angin yang mengarang beberapa kitab fikah dan lainnya. Maka adalah nama anaknya Tuan Syihabuddin.”Petikan kalimat yang tersebut sangat banyak yang perlu dibahas, tetapi yang saya bahas sekarang hanyalah satu istilah ‘alim besar’, yang bererti seseorang itu alim mempunyai banyak bidang ilmu.KaryaTuhfah an-Nafis karya Raja Ali Haji yang asli dalam bentuk manuskrip dan cetakan adalah tulisan Melayu/Jawi, maka transliterasi saya kepada Rumi ialah ‘alim besar’. Ini adalah bertentangan dengan transliterasi Viginia Matheson Hooker, ditulisnya ‘ilmu besar’ pada tempat ‘alim besar’ (Lihat Tuhfat Al-Nafis, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hlm. 600). Ahmad Basuni menulis dalam bukunya Djiwa Yang Besar, “H. Abul Muhd. Arsyad (bin Abdullah al-Banjari), seorang yang dalam ilmunya pernah menjadi Mufti, terkenal pula sebagai seorang pahlawan yang sukar dicari tandingannya.” (Djiwa Yang Besar, hlm. 59).Yusuf Khalidi dalam bukunya Ulama Besar Kalimantan, menyebut bahawa Syeikh Syihabuddin diangkat sebagai Khalifah, iaitu menjawat jawatan Mufti dan Kadi. Bahawa beliau memperoleh 11 anak, namun yang dicantumkan Yusuf Khalidi dalam bukunya yang tersebut hanya tiga orang saja iaitu Al-Alim al-Allamah Mufti Abdul Jalil, Al-Alim al-Allamah Haji As’ad Fakhruddin dan Aminah. Anak beliau yang pertama Al-Alim al-Allamah Mufti Abdul Jalil (No. 1) memperoleh anak bernama Zakaria pernah tinggal di Johor kerana menyebarkan agama Islam.Zakaria bin Mufti Abdul Jalil bin Syeikh Syihabuddin al-Banjari kahwin di Mersing, memperoleh 13 anak. Syeikh Utsman bin Syihabuddin al-Funtiani/al-Banjari yang menulis beberapa kitab mungkin adalah putera Syeikh Syihabuddin yang diriwayatkan ini.Tiada data jelas mengenai perkara tersebut, tetapi beberapa orang tua-tua di Pontianak, Kalimantan Barat menceritakan bahawa Syeikh Utsman adalah anak Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan isterinya yang berasal dari Karangan, Mempawah Hulu, Kalimantan Barat.Hanya sebuah karya Syeikh Syihabuddin yang diketahui, itu pun adalah merupakan imlak gurunya bernama Allamah as-Saiyid asy-Syarif Ahmad al-Marzuqi (1205 H/1790 M-1262 H/1845). Mengenai ini dapat diketahui kenyataan dari gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, katanya, “Dan (bahawasa)nya telah selesailah daripada menjamakkan (mengumpulkan) dia dan kitabahnya (menulisnya) dengan imlak muallifnya di Mekah atas tangan yang menyurat imlaknya itu, (iaitu) Syeikh Muhammad Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad pada waktu zuhur, Selasa bulan Zulhijjah, tahun 1158 (hijrah).”Setelah Syeikh Syihabuddin menulis imlak dari Saiyid Ahmad al-Marzuqi itu, lalu diserahkannya kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani untuk penelitian dan diperbaiki jika terdapat kesilapan. Setelah diperiksa Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani lalu diserahkan kembali kepada Saiyid Ahmad al-Marzuqi.Saiyid Ahmad al-Marzuqi memerintahkan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, supaya memberi judul kitab itu sekali gus supaya diterjemahkannya ke bahasa Melayu. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani menamakan kitab itu Tahshilu Nailil Maram Syarhu ‘Aqidatil Awam dan judul yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu ialah Bahjatus Saniyah fi ‘Aqaidis Saniyah.Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani mengakhiri terjemahannya, katanya, “Dan telah selesai fakir mentaswid (menulis) akan manzhum (yang dinazamkan) matannya dan syarahnya dengan bahasa Jawi, (oleh) Daud bin Abdullah Fathani, pada hari ...nama hari tidak tertulis dalam semua cetakan), bulan Safar, waktu asar di Mekah al-Mukarramah.”Syeikh Abdur Rahman Shiddiq menyebut bahawa zuriat Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang berpangkat Mufti ada 10 orang dan yang berpangkat Kadi juga 10 orang. Antara yang menjadi Mufti termasuk Syeikh Syihabuddin al-Banjari.Senarai lengkapSenarai lengkap adalah seperti berikut, 1. Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2. Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Haji Muhammad As’ad bin Utsman. Beliau adalah Mufti yang mula-mula di Kerajaan Banjar. 4. Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As’ad. 5. Haji Syihabuddin. 6. Haji Muhammad Khalid bin Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 7. Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud. 8. Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid. 10. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.Dari no. 1 sampai no. 5 pada zaman pemerintahan Sultan Banjar. Sedang yang no. 6 sampai no. 10 pada zaman penjajah Belanda. Dari maklumat yang lain ulama-ulama keluarga tersebut yang menjadi Mufti ialah: 1. Haji Muhammad Husein bin Mufti Haji Jamaluddin. 2. Haji Abdul Jalil bin Mufti Haji Syihabuddin. 3. Haji Muhammad Yunan bin Mufti Haji Muhammad Amin. 4. Haji Sa’id bin Haji Abdur Rahman. 5. Haji Mukhtar bin Kadi Haji Hasan.Keluarga yang tersebut yang pernah menyandang pangkat Kadi pula ialah: 1. Kadi Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari. 2. Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Haji Mahmud bin Haji Muhammad Yasin. 4. Haji Muhammad Amin bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 5. Haji Muhammad Ali al-Junaidi bin Kadi Haji Muhd. Amin. 6. Haji Muhammad Sa’id al-Jazuli bin Kadi Haji Su’ud. 7. Haji Muhammad Amin bin Kadhi Haji Mahmud. 8. Haji Abdus Shamad bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 9. Haji Muhammad Jafri bin Kadi Haji Abdus Shamad. 10. Kadi Haji Bajuri. 11. Haji Muhammad As’ad bin Mufti Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud. 12. Haji Ibrahim bin Mufti Haji Jamaluddin. 13. Haji Abu Talhah bin Kadi Abdus Shamad. 14. Haji Muhammad Thaiyib bin Haji Muhammad Qasim. 15. Haji Muhammad bin Haji Muhammad Qasim. 16. Haji Zainal bin Lebai Darun. 17. Haji Abdur Rahman bin Kadi Haji Muhammad Sa’id. 18. Haji Qasim bin Mu’min. 19. Haji Muhammad Sa’id bin Mu’min. 20. Haji Muhammad Arsyad bin Kadi Haji Abdur Rahman. 21. Haji Hasan bin Mufti Haji Muhammad Sa’id. 22. Haji Abdur Rauf. 23. Haji Abdul Jalil bin Kadi Haji Muhammad Arsyad. 24. Haji Ahmad bin Abu Naim. 25. Haji Muhammad Arsyad bin Kadi Haji Abdur Rauf.


Senin, 20 Desember 2010

Syeikh Muhammad Zainuddin As-Sumbawi pengarang Sirajul Huda

 

TERDAPAT beberapa ulama yang berasal dari Pulau Sumbawa yang meninggalkan karangan yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan beberapa orang di antara mereka terkenal sebagai ulama-ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram Mekah.

Di antara mereka yang sangat terkenal ialah Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima) yang mempunyai ramai murid. Syeikh Umar bin Abdur Rasyid as-Sumbawi yang terkenal sama dengan Syeikh Abdul Ghani Bima. Tetapi kedua-duanya tidak meninggalkan karya cetakan.
Kemungkinan karya mereka terdapat dalam bentuk manuskrip. Dua ulama Sumbawa yang meninggalkan karangan ialah Syeikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi as-Sumbawi dan seorang lagi ialah yang diriwayatkan ini. Nama lengkap beliau ialah Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi.

Karyanya yang sangat terkenal dan masih diajarkan di kalangan masyarakat Melayu hingga sekarang ialah Sirajul Huda, seperti tersebut pada judul artikel ini. Menurut tradisi pengajian pondok di alam Melayu, kitab tersebut biasanya dibaca sesudah menamatkan kitab Faridatul Faraid . Apabila sudah cukup memahami kitab Faridatul Faraid barulah memasuki kitab Sirajul Huda. Tetapi ada juga pondok yang mendahulukan Sirajul Huda kemudian baru mengajar Faridatul Faraid.
Sesudah kedua-dua kitab itu – yang dipandang sebagai asas ilmu tauhid – barulah memasuki kitab Ad-Durruts Tsamin. Setelah ketiga-tiga kitab itu betul-betul difahami dengan kukuh, asas Ahli Sunah wal Jamaah metod Syeikh Abu Mansur al-Maturidi tidak berganjak lagi, maka mereka akan memasuki kitab-kitab akidah yang lebih berat seumpama ad-Durun Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan lain-lain.
Untuk mengesan pada zaman mana Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa hidup, ada sedikit kesukaran. Ini kerana daripada kedua-dua karyanya yang masih beredar di pasaran, beliau tidak menyebut tahun berapa memulakan atau menyelesaikan karyanya itu.
Dari beberapa salasilah keilmuan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Padang), dapat diambil kesimpulan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani (1230H/1814M – 1312H/ 1897M) dan peringkat guru kepada Syeikh Mukhtar bin ‘Atarid al-Bughri(Bogor) (1278H/1860M – 1349H/1930M).
Berdasarkan tulisan Syeikh Muhammad Az-hari al-Falimbani dalam beberapa karyanya di antaranya Badi’uz Zaman, bahawa beliau menerima Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi menerima baiah daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di negeri Syam.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani pula, hanya sedikit mencatat tentang Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu. Kata beliau: “Dan mengkhabarkan kepada hamba oleh al-alim Tuan Zainuddin Sumbawa Rahimahullah taala bahawasanya mengenai akan dia oleh penyakit karang, maka minum ia akan air rebusan kayu sepang dan kayu kendarang, mengekali ia atasnya beberapa bulan, maka sembuh ia dan hilang daripadanya penyakit itu semua sekali.”
Kesimpulannya, Syeikh Muhammad Zainuddin hidup sejak zaman Syeikh Nawawi al-Bantani dan beliau dikira lebih tua daripada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272H/1856M-1325H/1908M). Syeikh Ahmad al-Fathani pula sempat belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani itu dan ada kemungkinan Syeikh Ahmad al-Fathani pula pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi.
Sudah jelas bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi ketika di Mekah, banyak memperoleh ilmu dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Namun begitu, pendidikannya sebelum di Mekah tidak diketahui dengan pasti.
Dari sekian banyak salasilah/sanad sesuatu disiplin ilmu yang disebutkan oleh Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid, sebagai contoh, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi dan Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi menerima ilmu daripada al-Mu’ammar al-Kiyai Nawawi bin Umar al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani menerima ilmu dari Syeikh Mahmud bin Kinan al-Falimbani dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Kedua-duanya menerima sanad dari Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani. Dia menerima ilmu dari Syeikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani (kemudian tinggal di Madinah). Beliau menerima ilmu dari ayahnya Syeikh Hasanuddin bin Ja’afar al-Falimbani, dan juga dari saudaranya Salih bin Hasanuddin al-Falimbani.
Kedua-duanya menerima ilmu dari Imam ‘Id bin Ali an-Namrisi al-Masri (tinggal di Mekah). Beliau menerima dari Imam al-Hafiz al-Muhaqqiq Abdullah bin Salim al-Basri al-Makki. Dia menerima daripada Muhammad Ibnu al-‘Ala’ al-Babli. Dia menerima daripada Abin Naja Salim bin Muhammad as-Sanhuri yang menerima daripada Muhammad bin Ahmad al-Ghiti.
Dia menerima daripada Kadi Zakaria bin Muhammad al-Ansari. Dia menerima daripada Abin Na’im Ridhwan bin Muhammad al-‘Iqabi. Dia menerima daripada Abit Thahir Muhammad bin Muhammad. Dia menerima daripada Abdur Rahman Ibnu Abdul Hamid al-Muqaddisi. Dia menerima dari Abil Abbas Ahmad bin Abdud Daim an-Nablusi.
Abil Abbas menerima daripada Muhammad bin Ali al-Harani. Dia menerima daripada Muhammad bin Fadhal al-Farawi. Dia menerima dari Abil Hussein Abdul Ghafir Ibnu Muhammad al-Farisi. Dia menerima daripada Abi Ahmad Muhammad bin Isa al-Jaludi. Dia menerima daripada Abi Ishak Ibrahim Ibnu Muhammad bin Sufyan az-Zahid. Dia menerima daripada pengarang kitab al- imam al-Hafiz Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi.
Yang tersebut di atas adalah sebagai contoh sanad Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi tentang hadis Muslim yang diterimanya dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Tetapi tentang hadis Bukhari, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi bertitik mula penerimaannya dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi. Bukan dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Melalui beberapa sanad/salasilah keilmuan Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu bertitik mula dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi bererti selain Syeikh Nawawi al-Bantani, beliau mempelajari pula berbagai-bagai bidang ilmu dari ulama yang berasal dari Sambas itu.
Namun demikian, saya masih meragui kebenaran tulisan Syeikh Yasin Padang itu kerana yang ditemui maklumat yang berada di Makah sezaman dengan Syeikh Nawawi al-Bantani ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Kedua-duanya adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Sangat boleh jadi tulisan Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid itu adalah tersalah cetak.
Masih ada satu sanad/salasilah Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi yang tidak terdapat dalam karya Syeikh Yasin Padang iaitu sanad/salasilah mengenai Tarekat Qadiriyah. Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menulis, “…..Syaikhuna al-‘Alim al-‘Allamah al-Khalifah at-Tarekah al-Qadiriyah asy-Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi, ia mengambil daripada syeikhnya as-Saiyid Muhammad Mukrim, Mufti negeri Hamad benua Syam. Yang ia mengambil daripada Masyaikh-Masyaikhi ilan Nabi s.a.w yang muttasil hingga sekarang ini. Dan jika hendak mengetahui salasilah tarekat ini lihat di dalam Tuhfatil Qudsiyah bagi Syaikhunal mazkur asy-Syeikh Muhammad Zainuddin….”
Salasilah yang tersebut dalam kitab Tuhfatil Qudsiyah yang disebut oleh Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu tidak dapat diketahui kerana kitab karya ulama yang berasal dari Sumbawa itu masih belum ditemui hingga sekarang. Kemungkinan kitab tersebut telah ghaib, tiada siapa yang menyimpannya lagi.
Apabila kita semak tulisan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, dengan jelas beliau sebut bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi adalah Khalifah Tarekat Qadiriyah, iaitu tarekat yang dinisbahkan kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Ini bererti kemunculan beliau seolah-olah setaraf dengan Syeikh Abdul Karim al-Bantani yang menjadi Khalifah Tarekat Qadiriyah yang dilantik gurunya yang dianggap mursyid kamil mukammil dalam tarekat itu, beliau ialah Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Beberapa orang ulama yang berasal dari Alam Melayu yang pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi memang sangat ramai. Di antara yang dianggap sebagai ulama besar dan tokoh yang berpengaruh ialah : Syeikh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, Kiyai Muhammad Khalil bin Abdul Lathif al-Manduri , Syeikh Ali bin Abdullah al-Banjari, Syeikh Khalid bin Utsman al-Makhla az-Zubaidi, Syeikh Abdul Hamid Kudus, Syeikh Mahfuz bin Abdullah at-Tarmisi (Termas, Jawa) dan ramai lagi.
Karya Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi hanya empat buah sahaja dalam maklumat yang ada pada saya iaitu:
1. Sirajul Huda ila Bayani ‘Aqaidit Taqwa, judul terjemahan dalam bahasa Melayu oleh pengarangnya sendiri iaitu Pelita Petunjuk Kepada Menyatakan Segala Simpulan Segala Ahli Takwa. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan dan sampai sekarang masih beredar di pasaran kitab. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan.
2. Minhajus Salam fi Tafsil ma yata’allaqu bil Iman wal Islam. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Dicetak dalam beberapa edisi. Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada di pasaran lagi.
3. Waraqatun Qalilatun fi Manasikil Hajji wal ‘Umrah ‘ala Mazhab al-Imam asy-Syafie. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Risalah ini dicetak dalam Majmuk Kaifiyat Khatam al-Quran yang dinyatakan sebagai karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dicetak dalam berbagai-bagai edisi cetakan baik di Timur Tengah mahupun dicetak di dunia Melayu.
4. Tuhfatul Qudsiyah. Hanya terdapat maklumat berdasarkan karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani di dalam Badi’uz Zaman. Kemungkinan karya yang tersebut telah tidak dapat ditemui lagi.
Kandungan karya Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa yang nombor 1, iaitu Sirajul Huda, membicarakan tauhid atau akidah Ahli Sunah wal Jamaah, perbicaraannya biasa sahaja, sebagaimana kitab-kitab tauhid dalam bahasa Melayu yang lain-lainnya.
Sungguhpun begitu, ada dua hal yang menarik untuk dipetik, iaitu pertama terdapat dua tempat bahasa yang bercorak puisi dan yang kedua, kupasannya yang panjang mengenai satu istilah yang terdapat dalam usuluddin. Salah satu daripadanya tentang mukjizat Nabi Muhammad s.a.w menghidupkan ayah dan ibunya, terdiri enam bait, empat bait bahagian akhir sebagai contoh ialah:
“Maka dihidupkan ayah dan
bondanya
Supaya dengan dia percaya
keduanya
Maka terima olehmu jangan
ingkarnya
Kerana yang demikian itu
kuasanya
Telah datang hadis dalil
atasnya
riwayat orang pendita rijalnya
Barang siapa berkata dengan
daifnya
Maka ialah daif, tidak
hakikatnya.”
Daripada contoh di atas, dapat dipastikan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah termasuk ulama ahli penyair dunia Melayu.


SYEKH NAWAWI AL- BANTANI




Syekh Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) alias Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai Mahfudz Termas (wafat 1919-20 M).
Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Istrinya yang pertama bernama Nasimah, juga lahir di Tanara. Darinya, Syekh Nawawi dikaruniai tiga putri, Nafisah, Maryam, dan Rubi’ah. Istrinya yang kedua, Hamdanah, memberinya satu putri: Zuhrah. Konon, Hamdanah yang baru berusia berlasan tahun dinikahi sang kiai pada saat usianya kian mendekati seabad. Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.

Penulis Multi Dimensi
Jejak Syekh Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih berpengaruh dan dipakai di pesantren hingga kini, benar-benar pantas menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam di Nusantara. Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (King Maker) militansi muslim terhadap Belanda penjajah.

Sebagai pengarang yang paling produktif, Kiai Nawawai Banten punya pengaruh besar di dikalangan sesama orang Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang dari orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Ia menerbitkan lebih dari 38 kitab. Sumber lain mengatakan lebih dari 100 kitab.

Ia menulis kitab dalam hampir setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dari pengarang Indonesia sebelumnya, ia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang telah digunakan di pesantren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengkoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.

Sejumlah syarah-nya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (ia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar dan 11 kitabnya yang paling banyak digunakan di pesantren. Syekh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka.

Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, pun termasuk siswanya. Muridnya yang lain antara lain, K.H. Hasyim Asy-ari, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi.

Karya-karya Monumentalnya
beberapa karya monumentalnya antara lain adalah Qathr al-Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah terkenal, Ushul qBis, karya Abu Laits al-Samarqandi, yang di Jawa lebih dikenal sebagai Asmaraqandi. Bersama karya Ahmad Subki Pekalongan, Fath al-Mughits, yang merupakan terjemahan Jawa Ushul 6 Bis, Qathr al-Ghaits banyak dipakai dan menjadikan Ushul 6 Bis lebih terkenal.

Ushul 6 Bis ialah karya tentang ushuluddin yang terdiri atas enam bab yang masing-masing dibuka dengan kata bismillah. Pada abad ke-19, Ushul 6 Bis merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari di pesantren tingkat rendah Indonesia. Dua kitab lain yang diajarkan di tingkat yang sama ialah kitab fiqh at-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’ al-Isfahani dan Bidayah al-Hidayah, ringkasan Ihya karya al-Ghazali.

Kitab Madarij al-Su’ud Ila Ikhtisah al-Burud, yang berbahasa Arab dalam berbagai terbitan merupakan adaptasi Indonesia kitab karya Ja’far bin Hasan al-Barzinji tentang Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir). Karya acuan lain yang paling penting ialah Minhaj at-Thalibin dan komentarnya atas karya Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Minhaj yang menjadi dasar utama semua teks juga dianggap sebagai sumber riil otoritas.

Teks dasar dalam bidang akidah ialah Umm Al-Barahin (disebut juga Al-Durrah) karya Abu’Abdullah M. bin Yusuf al-Sanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai as-Sanusi, ditulis oleh pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan atas As-Sanusi ialah Kifayah al-‘Awwam karya Muhammad bin Muhammadal-Fadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.

Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya, Taqiq al-Maqam ‘Ala Kifayah al’Awwam, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Nawawi Banten dalam karya yang banyak dibaca orang, Tijan ad-Durari.

Tidak hanya itu, syekh Nawawi juga menulis kitab yang digunakan untuk anak-anak dan remaja. Kitab singkat berbentuk sajak bagi mereka yang berusia belia dan baru mengerti bahasa Arab, ‘Aqidah al-Awwam, ditulis oleh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki yang giat kira-kira 1864. Syekh Nawawi menulis syarah yang terkenal atasnya, Nur Azh-Zhalam.

Nasha’ih al-‘Ibad juga merupakan karya lain Syekh Nawawi. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, an-Nabahah ‘ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasan atas adab berperilaku dan seiring dijadikan karya pengantar mengenal akhlak bagi santri yang lebih muda.

Syekh Nawawi juga menulis syarah berbahasa Arab atas Bidayah al-Hidayah karya Abu Hamid al-Ghazali dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah yang lebih popular, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang. ‘Uqd al-Lujain fi Huquqf az-Zaujain ialah karya Nawawi tentang hak dan kewajiban istri. Ini adalah materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya dalam bahasa Jawa beredar, Hidayah al-‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan dan Su’ud al-Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani al-Qudusi.

Tokoh Sufi Qodiriyah
Syekh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah, yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul-Qadir al-Jailani (wafat 561 H/ 1166M). Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis belum mendapatkan bahan rujukan yang memuaskan tentang Syekh Nawawi Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan Qadiriyah wa Naqshabandiyah.

Padahal, pembacaan sejak lama kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi kuatnya tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syeh, terjemahan salah satu versi Manaqib, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karangan ‘Afifuddin al-Yafi’i (wafat 1367M), sangat boleh jadi dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari diri al-Qadiri.

Seabad kemudian, mukminin dari Kalimantan di Makkah, Ahmad Khatib Sambas (wafat 1878), mengajarkan tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqshabandiyah. Kedudukannya sebagai pemimpin tarekat digantikan oleh Syaikh Abdul Karim Banten yang juga bermukim di Makkah. Di tangannya, tarekat gabungan ini berkembang pesat di Banten dan mempengaruhi meletusnya Geger Cilegon pada 1888 dan amalannya melahirkan debus.

Begitulah, Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani yang hidup kira-kira satu abad setelah ‘Abd as-Samad al-Falimbani disebut dalam isnad kitab tasawuf yang diterbitkan oleh ahli isnad kitab kuning Syekh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani) sebagai mata rantai setelah ‘Abd as-Samad.

Syekh Nawawi yang sangat produktif itu juga menulis kitab syarah, Salalim al-Fudhala’, atas teks pelajaran tasawuf praktis Hidayah al-Adzkiya’ (Ila Thariq al-Auliya’) karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis dalam untaian sajak pada 914 H/ 1508-09 M. kitab ini popular di Jawa, misalnya disebutkan dalam Serat Centhini. Salalim dicetak di tepi Kifayah al-Ashfiya’ karya Sayyid Bakri bin M. Syaththa’ ad-Dimyati.

Penyumbang Ilmu Fiqh
Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten.


Syekh MUHAMMAD ARSYAD ALBANJARI

                              

Nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, tulis situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya, tulis buku itu, lokasi ini berupa sebidang tanak kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad  sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan, sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.

Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Ia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan Hukum Fiqih di Asia Tenggara.

Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan – panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang – ini dikebumikan.

Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab.

Buku-buku yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.

Dari berbagai buku-buku fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Miratu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.

Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafii dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul "Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin," menyatakan, "Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat."

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.

Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan, "Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun."

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.

Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. "Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata," ujar Kailani.

"Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak," tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Masudi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.

"Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang," kata Kailani.

Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang kini tengah mentahkik karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.


AlQUTB SYEH SAMAN ALMADANI

Nama beliau adalah Gauts Zaman al-Waly Qutbil Akwan Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani keturunan Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Sayyidina Rasulullah Saw.
Beliau adalah ulama besar dan wali agung berdarah AHLUL BAIT NABI beraqidah ahlussunnah wal jamaah dengan Asy'ari dalam bidang teologi atau aqidah, dan Syafii mazhab fiqih furu' ibadatnya, dan Junaid al-Baghdadi dalam tasawufnya.
Beliau r.a tinggal di Madinah menempati rumah yang pernah ditinggali Khalifah pertama, yakni Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a (seorang Shiddiq yang paling agung yang tiada bandingnya, kecuali para Anbiya wal mursalin).
Guru mursyid Beliau adalah Sayyidina Syekh Mustafa Bakri, seorang wali agung dari Syiria, dari pihak ayah keturunan Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a dari pihak ibu keturunan Syayidina Husin Sibthi Rasulullah Saw.
Pangkat kewalian beliau adalah seorang Pamungkas para wali, yakni Gauts Zaman, dan wali Qutb Akwan, yakni kewalian yg hanya bisa dicapai oleh para sadah yang dalam tiap periode 200 tahun sekali. Dan beliau adalah Khalifah Rasulullah pada zamannya.
Beliau banyak memiliki karomah yang tidak bisa dihitung banyaknya, bahkan sampai saat inipun karamah itu terus ada.
Karamah agung beliau adalah pangkat kewaliannya yang begitu agung. Beliau mendapat haq memberi syafaat 70.000 umat manusia masuk syurga tanpa hisab.
Murid-murid beliau dr Indonesia : Qutb Zaman Syekh muhammad Arsyad al-Banjari, Qutb Maktum Syekh Abul Abbas Ahmad at-Tijani (pendiri tarekat Tijani), al-Qutb Syekh Abdussamad al-Palimbani, al-Qutb Syekh Abdul Wahab Bugis (menantu Syekh Arsyad al-Banjari), al-Qutb Syekh Abdurrahman al-Batawi (kakek Mufti betawi dari pihak ibu Habib utsman betawi), al-Qutb Syekh dawud al-Fathani, dan lain-lain.
Dan diantara keagungan dan kemuliaan beliau yg amat banyak, diantaranya : SEMUA MURID BELIAU YANG JUMLAHNYA RIBUAN MENEMPATI MAQAM QUTB.
Beliau menempati kemulyaan karena beliau berada pada jalan Rasulullah dan para sahabatnya, yakni AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH.

Apa hubungannya dengan Rasulullah Saw?????
Demikian lah kesuksesan Syekh Samman dalam mendidik ruhani murid-muridnya sehingga mereka yang berjumlah ribuan menempati maqam Qutb, apatah lagi Rasulullah Saw dengan para murid2nya yakni para sahabt r.anhum, tentu maqam kewalian sahabatnya sangat agung, krn mereka mendapat keistimewaan menyertai kekasih-Nya, dan apa-apa yg menjadi Nubuwat Rasulullahj Saw dalam kitab2 dahulu, maka pasti menceritakan dan memuji para Qudus agung yang menyertai kekasih-Nya, yakni para sahabat Rasulullah Saw.
al-Qutb Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi shohib maulid berkata : "Serendah-rendahnya martabat sahabat maka tidak akan bisa dicapai walau oleh 70 Imam Junaid al-Baghdadi". Padahal Imam Junaid hidup pada zaman salaf dan menempati Sulthonul Awliya pada zamannya.

Karena para sahabat ini adalah para wali agung, maka para ahli tasawwuf (aswaja) sangat sopan dengan mereka, tidak menceritakan mereka kecuali kebaikan.
Jangankan dengan para sahabat, dengan wali jaman sekarang saja kalau kita tidak sopan, maka tunggu aja akibatnya, apa lagi menghjinakan wali atau ulama jaman sekarang saja menurut para ulama dihukumkan MURTAD. Bahkan wajib hukumnya berprasangka baik dengan para awliya. Lebih-lebih lagi para sahabat yang notabene adalah hasil didik Rasulullah Saw yang menempati Shiddiq dalam kewalian.

Maka dari itu, ummat Islam aswaja tidak akan membicarakan panjang lebar tentang pertikaian antar sahabat, baik itu antara Sayyidah Aisyah dengan Sayyidina Ali k.w pada perang Jamal, maupun antara Sayyidina Ali k.w pada satu pihak dengan Sayyidina Muawiyah r.anhu pada pihak lain.
Kita kaum aswaja tidak akan mengotori mulut kita dengan umpatan dan negatif thinking kepada mereka.
Bahkan Khalifah ALi k.w mengatakan seterunya saat itu bahwa antara beliauy dengan Sayyidina Muawiyah adalah saudara seiman dan satu kalimat, hny saja khilaf dalam penyelesaian pembunuhan Khalifah Utsman r.anhu.
Bahkan beliau k.w menyolatkan semua korban perang baik yg dipihak beliau maupun pihak Gubernur Damaskus saat itu.
Biarlah yang berlaku antar sahabat urusan mereka, kita tidak usah ikut campur. Selamatkan hati kita dr prasangka negatif kepada mereka dan selamatkan mulut kita dari umpatan2 yang keliru, krn mereka adalah para wali agung.

Sungguh sangat aneh, ada aliran yg berkedok ISLAM yang mengkafirkan seluruh sahabat Rasulullah Saw, kecuali beberapa orang saja.
Bahkan mereka melekatkan label ma'shum kepada Sayyidina ALi k.w sesuatu yang hanya diperuntukkan pata Anbiya wal mursalin.

Lihatlah jalan datuk-datuk kita dan pendahulu2 kita, mereka memperoleh kemuliaan, spt bertemu Rasulullah secara jaga, mampu memberi syafaat kepada ummat Rasulullah, dan akhir umur dengan HUSNUL KHOTIMAH.
Bagaimana dengan Syekh Sy';arani ARif yang begitu indah akhir umurnya, Syekh Samman Mulya (paman dr guru Sekumpul) yang wafat dalam keadaan bersujud pada sujud pertama sholat shubuh, sebelumnya beliau memotong kuku, mandi dan memakai baju dan sarung serba putih, begitu juga dengan Guru Sekumpul yang wafat dalam keadaan bersyahadat, juga Guru-Guru yang lain. Mereka semua pada jalan aqidah ahlussunnah wal jamaah. begitu pula pendahulu-2 kita spt Syekh Arsyad, Syekh Samman, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain sebagainya. Mereka semua berhaluan AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH.
Sesuatu ajaran jangan dilihat dr kemasannya yang bagus, tp lihatlah para pembawanya bagaimana wafatnya.
Karena ajaran bid'ah, apalagi ajaran ANTI SAHABAT NABI akan membawa kepada SU'UL KHOTIMAH. Naudzubillahi min dzalik.

Semoga Allah menyelamatkan aqidah kita, menyelamatkan aqidah keluarga kita, dan kaum muslimin. Dan semoga kita semua HUSNUL KHOTIMAH memnbawa aqidah yang bersih.
Spt dalam kitab DALAIL mengatakan " Semoga MATI DALAM keadaan mencintai RAsulullah, mencintai Ahlul BAit, dan mencintai para sahabat Rasulullah Saw (maksudnya HUSNUL KHOTIMAH).
Amin Yaa Robbal 'AAlamiiin.


Senin, 13 Desember 2010

Sejarah Catur Karya, Desa Warnasari Kec.Kapuas Kuala Kabupaten Kapuas

        Sejarah perjalanan Desa Catur Karya  Desa Warnasari yang berada di Kecamatan Kapuas Kuala Kabupaten Kapuas tidak lepas dari Penempatan Tranmigrasi pada tahun 1972 yang berjumblah 114 Kepala keluarga yang dikepalai Kepala Desa yang bernama Yadeni.Desa ini bisa dilalui dari Anjir Km 9 (sembilan).
       114 Kepala keluarga terdiri dari Warga JawaTimur, Jember,Trenggalek,Banyumas,dan sebagian dari warga Jawa Barat dan dibagi menjadi 4 RT,Desa warnasari ini adalah petani padi tahunan, Dizaman Presiden Soeharto yang kala itu yang menjadi Bupati adalah Udzidurahman pernah dikunjungi oleh beliau dan Desa ini menjadi lumbung padi dan setiap tahun panen dua kali padi tahunan dan padi paritas unggul.di Desa ini terdapat pula pendidikan

   >Sejarah pendidikan di Desa warnasari .


sejarah pendidikan di desa warnasari kala itu dipelopori oleh warga desa yang bernama Misham warga Jawa Timur yang merelakan rumahnya dijadikan Sekolah yang akhirnya dipantau terus oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang selanjutnya atas kebijakan pemerintah didirikan beberapa SDN dan Sekolah yang dibiayai dengan swadaya dijadikan sekolah MIS Nurul Huda catur karya yang masih dapat dilihat sampai sekarang.Berkat seorang guru agama yang bernama Chairul Anam Madrasah ini berkembang pesat sampai sekarang ,disamping ada Madrasah ada pula sekolah  Negeri 





                                                                                                                                                           Didesa ini terdapat juga mesjid Jami Al Muhajirin yang terletak di pasar minggu catur karya,Mesjid ini sesui dengan Namanya Almuhajirin yang artinya Para Pendatang.
mesjid ini banyak sekali mengalami Renovasi  disana sini ,tetapi pondasi dan tiang penyangga masih sesuai aslinya




di Desa ini juga terdapat pesantren yang letaknya di Desa Warnasari (Makarti I) yaitu Pesantren Thoriqus Sya'adah yang mempunyai guru yang arif dan bijaksana yaitu KH.Mashadi ,Namun kini beliau sekarang telah tiada.KH.Mashadi adalah sosok panutan yang berpengaruh didesa ini ,Beliau adalah seorang ulama yang Istiqomah dan tidak terpengaruh oleh Duniawi,Beliau sampai akhir hayatnya mengabdi kepada untuk kepentingan Umum ,belas kasih dan pemurah ,bila anda ingin berkunjung ke kubur beliau  dapat langsung menanyakanya kepada msayarakat desa catur karya. Desa warnasari terbagi menjadi empat bagian desa yaitu :
1.Desa Kolam Tengah
2.Desa Kolam Kiri
3.Desa Kolam Kanan
4.Desa Makarti II
 Didesa ini terdapat bermacam-macam Produktifitas masyarakat dalam menunjang kehidupanya Selain bertani salah satunya adalah  berternak ayam arab dan sapi. Beternak ayam arab menguntungkan sekali adalah Zainal Arifin salah seoran penduduk desa yang kini masih mengeluti beternak ayam arab ini,Walaupun kendalanya beraneka macam baik itu cuaca dan berbagai macam penyakit....