Another Source

Join The Community

Premium WordPress Themes

Senin, 21 November 2011

Syekh Imam Ahmad At Tijani

Siapakah Syekh Imam Ahmad At Tijani?

Tentang pengenalan syekh Ahmad At Tijani, saya akan mengurai Sekilas Biografi Syekh Ahmad al-Tijani. Semoga bermanfaat.
Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-Jazair. Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-Syazili”. Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : (Semoga Allah membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar tasawuf.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah — yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain — adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal.


Rabu, 26 Oktober 2011

Biografi KH. Hamid Pasuruan

KYAI HAMID PASURUANKiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.

Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
sumber :
from :www.salafiyah.org


Minggu, 11 September 2011

Al-Habib Sholeh bin Mukhsin Al-Hamid (Habib Sholeh Tanggul – Jember – Jawa Timur)

Doanya Selalu Terkabul
Habib yang satu ini doanya sangat terkenal selalu terkabul dan orang yang sangat disegani dan dicintai. Dialah “Habib Sholeh bin Mukhsin Al-Hamid”, atau yang terkenal dengan panggilan Habib Habib Sholeh Tanggul (Jember)

Doa dari habib yang satu ini memang penuh rasa keikhlasan dan tidak tercampur sedikitpun dengan urusan duniawiyah. Wajarlah, bila setiap doa yang ia panjatkan sangat cepat dikabulkan oleh Allah SWT. Dialah Habib Sholeh bin Mukhsin Al-Hamid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Habib Sholeh Tanggul.

Mengenai resep agar doanya cepat terkabul, pernah suatu ketika ada orang bertanya : "Ya, Habib Sholeh. Apa sih kelebihan ibadah Habib Sholeh yang tidak orang lain lakukan, sehingga doa Habib Sholeh cepat terkabul ?"
Habib Sholeh menjawab : "Mau tahu rahasianya?" "Saya tidak pernah menaruh pispot di kepala saya."
Orang itu bertanya kembali :"Apa maksudnya ya Habib ?"
Jawab Habib Sholeh : "Menaruh pispot di kepala mu dalam beribadah. Artinya, janganlah membanggakan dunia. Janganlah bersaranakan dunia dengan beribadah."

Kata pujangga dunia adalah permainan, karena itu harus dipermainkan. Jangan kita dipermainkan.

"Contohnya bagaimana ya Habib?"
"Pispot walaupun terbuat dari emas murni yang terbaik di dunia dan bertahtakan intan berlian yang terbaik. Kalau dibuat topi, tetap akan membuat malu," kata Habib Sholeh.
"Maksudnya?"
"Kalau orang mau membanggakan dunia, bermodalkan dunianya. Semisal untuk membanggakan diri tujuannya untuk mencari dunia, lihat saja orang itu akan terjerembab oleh dunia. Karena amal orang itu dipamer-pamerin…," terang Habib Sholeh. Selain itu, kata Habib Sholeh jangan melakukan dosa syirik.

Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) juga pernah bertanya kepada Habib Sholeh : "Wahai Habib Sholeh, engkau adalah orang yang doanya selalu terkabulkan dan engkau sangat dicintai oleh Tuhanmu dan segala permohonanmu selalu dikabulkan."
Maka, Habib Sholeh pun menjawab : "Bagaimana tidak, sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat Allah murka - tidak pernah melanggar aturan Allah."

Demikianlah Habib Sholeh Tanggul memberikan beberapa resep agar doa-doa yang dipanjatkan, cepat terkabul. Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid sendiri lahir di Korbah, Ba Karman (Wadi Amd) Hadramaut pada tahun 1313 H. Ayahnya adalah Habib Muksin bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Al-Bakry Al-Hamid, seorang yang saleh dan wali yang arif dan dicintai serta dihormati oleh masyarakatnya. Banyak orang yang datang kepadanya untuk bertawasul dan memohon doa demi tercapainya segala hajat mereka. Ibundanya seorang wanita shalihah bernama Aisyah dari keluarga Alabud Ba Umar dari Masyayikh Alamudi.

Habib Sholeh memulai mempelajari kitab suci Al-Quran dari seorang guru yang bernama Said Ba Mudhij, di Wadi Amd, yang juga dikenal sebagai orang saleh yang tiada henti-hentinya berzikir kepada Allah Swt. Sedangkan ilmu fikih dan tasawuf ia pelajari dari ayahnya sendiri, Habib Muksin Al-Hamid.
Sewaktu kecil Habib Sholeh sebagaimana teman sebayanya, pernah menggembala kambing. Selain itu, ia ternyata mempunyai hobi menembak dengan senapan angin. Bahkan kemampuannya, bisa dikatakan luar biasa, karena ia dikenal sebagai penembak yang jitu.

Pada usia 26 tahun, tepatnya pada bulan keenam tahun 1921 M, dengan ditemani Assyaikh Al-Fadil Assoleh Salim bin Ahmad Al-Asykariy, Habib Sholeh meninggalkan Hadramaut menuju Indonesia. Mereka berdua sempat singgah di Gujarat (India) beberapa waktu, kemudian baru ke Jakarta. Kemudian sepupu beliau, Habib Muksin bin Abdullah Al-Hamid, seorang panutan para saadah atau masyarakat, mengajaknya singgah di kediamannya di Lumajang.

Ia menetap di Lumajang untuk beberapa saat. Kemudian pindah ke Tanggul (Jember), dan akhirnya menetap di desa ini. Pada suatu saat ia melakukan uzlah, mengasingkan diri dari manusia, selama lebih dari tujuh tahun. Selama itu pula ia tidak menemui seorang pun dan tidak seorang pun manusia menemuinya.

Dalam khalwatnya itu, ia banyak membaca Al-Quran dan kitab Dalailul Khoirat yang berisi selawat dan salam kepada Sayyidis Sadad SAW, “Aku bertemu dengan Rasulullah yang memancarkan sinar dari wajahnya yang mulia."

Hingga tibalah di akhir masa khalwat, datang Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf kepadanya dan memberikan satu sorban hijau dengan mengatakan : "Ya Habib Sholeh, datang kepadaku Rasulullah SAW dan mengutusku untuk menyerahkan sorban hijau ini. Ini adalah pertanda kewalian qutb (kutub) atasku jatuh ke pundakmu," kata Habib Abu Bakar sambil menyematkan sorban hijau itu ke pundak Habib Sholeh.

Habib Sholeh saat itu merasa dirinya kecil dan belum pantas, maka ia bertanya : "Pantaskah saya menerima anugrah Allah SWT yang sedemikian besar ini ? Mampukah saya mengembannya ?"

Dalam khalwatnya, ia menangis terus dan tidak pernah keluar dari kamarnya dan minta petunjuk kepada Allah SWT. Saat itu rumahnya masih sangat sederhana terbuat dari bilik bambu. Padahal sudah banyak habaib, saudara, orang-orang kaya datang kepadanya untuk membongkar rumahnya, tapi beliau tidak pernah mau.
Alasannya, "Jangan dibetulkan! Jangan diapa-apakan! Biarkan saja, saya takut Rasulullah SAW tidak datang lagi ke tempat ini. Saya setiap hari berjamaah shalat lima waktu dengan Rasulullah SAW di rumah ini. Jangan dibongkar rumah ini," tampik Habib Sholeh setiap ditawari oleh orang lain.

Khalwatnya itu berlangsung selama kurang lebih tujuh tahun. Hingga suatu saat ia mendapat isyarat dari Rasulullah SAW agar menziarahinya di Madinah. Ketika ia mengutarakan maksud dan tujuannya akan berangkat ke Baitul Makkah dan Madinah.

Ketika ditanya oleh banyak orang, Habib Sholeh dengan tersenyum menjawab : "Sebelum rumah ini dibangun saya telah diberitahu oleh Rasulullah SAW dan biarkan rumah ini dibangun."
Sebuah pertanda, Habib Sholeh Al-Hamid telah dipandang mampu mengemban amanah dan dipercaya menyandang khilafah kenabian serta untuk menebarkan kemanfaatan kepada umat manusia.

Lalu “Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf” menyuruhnya datang ke kediamannya di Gresik. Sesampainya di rumah, ia menyuruh Habib Sholeh Hamid mandi di jabiyah (kolam mandi yang khusus miliknya). Setelah itu, sang guru memberinya mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban kepadanya.

Dakwah Habib Sholeh
Dakwah Habib Sholeh kepada masyarakat sekitar diawalinya dengan membangun musala di tempat kediamannya. Habib Sholeh Tanggul selalu mengisinya dengan kegiatan Shalat berjemaah dan hizib Al-Quran antara magrib dan Isya’ di musala ini. Ia juga menggelar pengajian-pengajian yang membahas hal-hal mana yang dilarang oleh agama dan mana yang diwajibkan agama, kepada masyarakat sekitar.

Setiap selesai Shalat Asar, ia membacakan kitab An-Nasaihud Dinniyah, karangan “Al-Habib Abdullah bin Alwie Al-Hadad”, yang diuraikannya ke dalam bahasa keseharian masyarakat sekitar, yakni bahasa Madura.

Beberapa tahun kemudian, ia mendapatkan hadiah sebidang tanah dari seorang muhibin, orang yang mencintai anak-cucu keturunan Nabi Muhammad, yakni H. Abdurrasyid. Tanah ini lalu ia wakafkan. Di atas tanah inilah ia membangun masjid yang diberi nama Riyadus Sholihin. Di masjid ini kegiatan keagamaan semakin semarak. Kegiatan keagamaan, seperti Shalat berjemaah, hizib Al-Quran, serta pembacaan Ratib Al-Hadad, rutin dibaca di antara Magrib dan Isya’.

Dalam kesehariannya, ia selalu melapangkan dada orang-orang yang sedang dalam kesusahan. Bahkan orang-orang yang sedang dililit utang, ia bantu untuk menyelesaikannya. Jika ia melihat seorang gadis dan jejaka yang belum menikah, ia dengan segera mencarikan pasangan hidup dengan terlebih dahulu menawarkan seorang calon. Apabila ada kecocokan di antara keduanya, segeralah mereka dinikahkan. Bahkan, sering Habib Sholeh yang membantu biaya pernikahannya. Pernah pula, dalam waktu sehari ia mendamaikan dua atau tiga orang yang bermusuhan.

Wasiat atau ajarannya yang paling terkenal, "Hendaklah kamu menjaga Shalat lima waktu. Jangan pernah tinggalkan Shalat Subuh berjemaah. Muliakan dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jadilah kamu sekalian sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berbuat baik jangan pilih kasih, kepada siapa pun dan di mana pun."

Dalam kehidupan kemasyarakatan, ia juga terlibat sangat aktif. Antara lain, Habib Sholeh Tanggul juga tercatat sebagai pemberi spirit dengan meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya. Bahkan ia tercatat sebagai kepala penasihat rumah sakit. Ia juga tercatat sebagai ketua takmir Masjid Jamik yang didirikan di kota Jember yang pembangunannya juga dapat diselesaikan dalam waktu singkat berkat doa dan keikutsertaannya dalam peletakan batu pertama.

Derajat Kewaliannya
Kekaramahan dan derajat kewalian Habib Sholeh telah mencapai tingkatan Qutub. Yakni, sebagai pemimpin dan pemuka bagi para pembesar aulia di masanya. Dalam konteks ini, berkata Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdrurrahman Assegaf, "Habib Sholeh adalah orang yang doanya selalu terkabul dan orang yang sangat dicintai dan disegani".

Bahkan, salah seorang ahli waris keluarga Habib pernah mendengar salah seorang saleh yang dapat dipercaya bercerita kepadanya, ia pernah bermimpi melihat Habib Sholeh sedang duduk di suatu tempat dan tangan kanan Habib Sholeh memegang tiang dari nur yang sinarnya berkilauan sampai ke langit, lalu terdengar ucapan, "Sesungguhnya Habib Sholeh adalah orang yang mujabud dakwah - doanya selalu diijabah."

Dikisahkan, suatu waktu ia sedang berjalan bersama Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah Al-Habsyi Kwitang Jakarta, dan ia juga berkunjung ke kediaman Habib Ali bin Husein Al-Attas di Bungur Jakarta. Saat melintasi sebuah lapangan, ia melihat banyak sekali orang berkumpul untuk melakukan Shalat Istisqa, Shalat khusus untuk meminta hujan, karena pada saat itu Jakarta sedang dilanda kemarau panjang.
Habib Sholeh Tanggul pun berkata : "Serahkan saja kepadaku, biar aku yang akan memohon hujan kepada Allah."

Tak lama kemudian, setelah Habib Sholeh Tanggul menengadahkan tangan ke langit, seraya membaca doa meminta hujan, hujan pun turun.

Adapun, mengenai kedermawananya, tak seorang pun meragukanya. Bahkan ia selalu memberikan apa yang ada di tangannya mana kala ada seorang yang meminta, atau bahkan memberi salah satu dari kedua pakaiannya.
Berkata salah seorang ulama mengenainya : "Seandainya ia tak memiliki apa pun kecuali rohnya, ia pun akan menyerahkannya kepada yang memintanya."
Banyak yang meyakini, Habib Sholeh Tanggul adalah seorang wali yang dekat dengan Nabi Khidir. Karena itu pula ia terkenal dermawan, seolah apa pun yang ia miliki ingin ia berikan kepada setiap orang yang membutuhkan.

Menjelang wafatnya, tidak menunjukan tanda apa-apa. Hanya beliau sering mengatakan kepada keluarganya : "Saya sebentar lagi akan pergi jauh. Yang rukun semua yah, kalau saya pergi jauh jangan ada konflik," kata Habib Sholeh saat di bulan puasa.

Waliyullah yang doanya selalu terkabul itu wafat dengan tenang pada 7 Syawal 1396 H (1976) dengan meninggalkan 6 putra-putri yakni Habib Abdullah (alm), Habib Muhammad (alm), Syarifah Nur (alm), Syarifah Fatimah, Habib Ali, dan Syarifah Khadijah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di komplek pemakaman Selatan PJKA, Tanggul – Jember - Jawa Timur.
Habib Sholeh bin Mukhsin Al-Hamid (Habib Sholeh Tanggul)


Selasa, 26 Juli 2011

Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani ( Guru Sekumpul





Tuan Guru Sekumpul dikenal sebagai seorang Wali Mursyid yg masyhur yang di kunjungi para alim ulama Habaib dari belahan dunia nama lengkapnya Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh Muhammad Zaini Abd. Ghani ( Tuan Guru Sekumpul ) bin Al ‘arif Billah Syekh Abd. Ghani bin Syekh Abd. Manaf bin Syekh Muh. Seman bin Syekh. M, Sa’ad bin Syekh Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti Syekh. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah Syekh. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Guru Sekumpul merupakan keturunan ke-8 dari ulama besar Banjar, Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari.

‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Syekh M. Zaini Abd. Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara thariqat dan haqiqat, dan beliau seorang yang Hafazh AI-Quran beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim Lil-Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT. beliau tidak pernah ihtilam.

Pada usia 9 tahun di malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Safinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk beliau melihat masih banyak kursi yang kosong. Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.

Dalam usia 10 tahun sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan besi.
Di masa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd Ghani pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husin yang keduanya masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal 'Abidin.

Karomah- Karomahnya

Ø Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangannya ke belakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.

Ø Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan oleh shahibul bait maka tampak ketika itu makanan tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak di makan oleh beliau.

Ø Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau itu, maka beliau goyang goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya.

Ø Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abd. Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari.

Ø Banyak orang-orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya, sernuanya ini menurut keterangan dokter harus di operasi. Namun keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan. 'Allimul'allamah 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa di operasi.

Ø Kesaksian al-Aalimul faadhil Guru Haji Ahmad Bakri : Jika saya berdusta dalam kesaksian ini maka bolehlah saya dicap sebagai munafik. Ketika saya akan berangkat haji pada suatu tahun, saya sowan kepada Guru Sekumpul. Dalam kesempatan itu saya bertanya: wahai Abah! Siapakah Wali Qutub di negeri Makkah pada masa sekarang? Guru Sekumpul tersenyum seraya berkata : “Bakri, Bakri… nama beliau adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Habsyi. Guru Bakri Berkata: “Dimanakah ulun dapat menjumpai beliau?”. Guru Sekumpul menjawab; “engkau pasti akan berjumpa dengan beliau”
Saya pun (Guru Bakri) berangkat haji. Satu minggu sebelum pulang ke tanah air, belum juga saya jumpa dengan beliau (Habib Abu Bakar). Akhirnya saya bertanya kepada salah seorang mukimin di Makkah, dimanakah ada seorang yang terkenal sebagai Wali di Makkah ini. Maka dijawab: “ada, beliau tinggal di daerah jabal Nur, nama beliau adalah Habib Abu Bakar al-Habsyi”. Sayapun mencarter taxi ke sana dengan satu orang teman (tidak ramai-ramai, karena ahlussunnah wal jama’ah sangat dicurigai dan diawasi di Saudi). Sesampainya di sana pas waktu Ashar. Selesai sholat Ashar, saya kagum dan terkejut karena ternyata wiridan yang dibaca di sana persis seperti wiridan di sekumpul. Setelah selesai wirid dilanjutkan dengan majelis ta’lim dengan membaca kitab syarah ‘ainiyyah, inipun ternyata sama seperti di sekumpul (waktu itu Guru sekumpul pun sedang mengajarkan kita syarah ‘ainiyyah). Setelah selesai majelis, maka sayapun minta izin untuk bertemu dengan beliau. Tidak lama beliaupun keluar. Ternyata orangnya sudah tua tetapi tampak masih sangat kuat dan bertenaga. Belum sempat saya mengucap salam, beliau langsung berkata مرحبا العالم الكبير شيخ زيني غني مرتابورا (selamat datang, seorang Alim yang Besar syaikh Zaini Ghani Martapura),padahal saya tidak pernah memberi tahu beliau. Ternyata yang beliau lihat bukan saya, tetapi Guru Sekumpul. Berarti Guru sekumpul sudah memberi tahu beliau (entah bagaimana caranya) kalau saya akan sowan kepada beliau.
Tanpa panjang pembicaraan saya pun pulang. Karena sebelumnya sudah dinasehati oleh Guru sekumpul untuk tidak banyak bicara. Yang penting minta diakui sebagai murid, itu sudah cukup, sebab seorang guru akan memberi syafaat kepada muridnya.
Setibanya di Banjarmasin saya pun sowan ke Guru sekumpul dengan niat menceritakan kepada beliau apa yang terjadi sekaligus menggembirakan beliau dengan kajadian itu. Malam itu pas malam kamis, selesai pengajian, saya ikuti beliau dari belakang. Beliau menoleh dan berkata: “Naik, Bakri”. Sayapun mengikuti beliau. Kami masuk ke rumah beliau sampai ke dalam kamar beliau. Beliau mematikan lampu dan berdoa agak lama. Setelah kurang lebih sepuluh menitan, selesai berdoa beliau berkata: “sudah Bakri, kada usah bakesah lagi, Abah Tahu ai (yang terjadi).” ا.ه. (selesai kisah Guru Haji Bakri)

Wafatnya Sang Aulia Allah

KH Muhammad Zaini Abdul Ghani sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Selasa malam, 9 Agustus 2005, sekitar pukul 20.30, Guru Sekumpul tiba di Bandar Udara Syamsuddin Noor, Banjarbaru, dengan menggunakan pesawat carter F-28.

Pada hari Rabu, tanggal 10 Agustus 2005 pukul 05.10 pagi, Guru Sekumpul menghembuskan napas terakhir dan berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun di kediamannya sekaligus komplek pengajian, Sekumpul Martapura. Guru Sekumpul meninggal karena komplikasi akibat gagal ginjal.

Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum.

Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.

Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.

Assalamualaikum Wr Wb.Image: http://sphotos.ak.fbcdn.net/photos-ak-snc1/v2650/159/108/1243990755/n1243990755_30145569_5683283.jpgTuan Guru Sekumpul dikenal sebagai seorang Wali Mursyid yg masyhur yang di kunjungi para alim ulama Habaib dari belahan dunia nama lengkapnya Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh Muhammad Zaini Abd. Ghani ( Tuan Guru Sekumpul ) bin Al ‘arif Billah Syekh Abd. Ghani bin Syekh Abd. Manaf bin Syekh Muh. Seman bin Syekh. M, Sa’ad bin Syekh Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti Syekh. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah Syekh. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.Guru Sekumpul merupakan keturunan ke-8 dari ulama besar Banjar, *_Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari_*.‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Syekh M. Zaini Abd. Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara *thariqat dan haqiqat*, dan beliau seorang yang Hafazh AI-Quran beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim Lil-Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT. beliau tidak pernah ihtilam.Pada usia 9 tahun di malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Safinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk beliau melihat masih banyak kursi yang kosong. Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.Dalam usia 10 tahun sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa *_Kasyaf Hissi_* yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan besi.Di masa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd Ghani pernah bertemu dengan *_Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husin_* yang keduanya *masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal 'Abidin*.*_Karomah- Karomahnya_*Ø Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangannya ke belakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.Ø Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan oleh shahibul bait maka tampak ketika itu makanan tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak di makan oleh beliau.Ø Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau itu, maka beliau goyang goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya.Ø Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abd. Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari.Ø Banyak orang-orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya, sernuanya ini menurut keterangan dokter harus di operasi. Namun keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan. 'Allimul'allamah 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa di operasi.Ø Kesaksian al-Aalimul faadhil Guru Haji Ahmad Bakri : *Jika saya berdusta dalam kesaksian ini maka bolehlah saya dicap sebagai munafik.* Ketika saya akan berangkat haji pada suatu tahun, saya sowan kepada Guru Sekumpul. Dalam kesempatan itu saya bertanya: wahai Abah! Siapakah Wali Qutub di negeri Makkah pada masa sekarang? Guru Sekumpul tersenyum seraya berkata : “Bakri, Bakri… nama beliau adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Habsyi. Guru Bakri Berkata: “Dimanakah ulun dapat menjumpai beliau?”. Guru Sekumpul menjawab; *“engkau pasti akan berjumpa dengan beliau”*Saya pun (Guru Bakri) berangkat haji. Satu minggu sebelum pulang ke tanah air, belum juga saya jumpa dengan beliau (Habib Abu Bakar). Akhirnya saya bertanya kepada salah seorang mukimin di Makkah, dimanakah ada seorang yang terkenal sebagai Wali di Makkah ini. Maka dijawab: “ada, beliau tinggal di daerah jabal Nur, nama beliau adalah Habib Abu Bakar al-Habsyi”. Sayapun mencarter taxi ke sana dengan satu orang teman (tidak ramai-ramai, karena ahlussunnah wal jama’ah sangat dicurigai dan diawasi di Saudi). Sesampainya di sana pas waktu Ashar. Selesai sholat Ashar, *saya kagum dan terkejut karena ternyata wiridan yang dibaca di sana persis seperti wiridan di sekumpul.* Setelah selesai wirid dilanjutkan dengan majelis ta’lim dengan membaca kitab syarah ‘ainiyyah, inipun ternyata sama seperti di sekumpul (waktu itu Guru sekumpul pun sedang mengajarkan kita syarah ‘ainiyyah). Setelah selesai majelis, maka sayapun minta izin untuk bertemu dengan beliau. Tidak lama beliaupun keluar. Ternyata orangnya sudah tua tetapi tampak masih sangat kuat dan bertenaga. Belum sempat saya mengucap salam, beliau langsung berkata مرحبا العالم الكبير شيخ زيني غني مرتابورا *(selamat datang, seorang Alim yang Besar syaikh Zaini Ghani Martapura),* padahal saya tidak pernah memberi tahu beliau. Ternyata yang beliau lihat bukan saya, tetapi Guru Sekumpul. Berarti Guru sekumpul sudah memberi tahu beliau (entah bagaimana caranya) kalau saya akan sowan kepada beliau.Tanpa panjang pembicaraan saya pun pulang. Karena sebelumnya sudah dinasehati oleh Guru sekumpul untuk tidak banyak bicara. Yang penting minta diakui sebagai murid, itu sudah cukup, sebab seorang guru akan memberi syafaat kepada muridnya.Setibanya di Banjarmasin saya pun sowan ke Guru sekumpul dengan niat menceritakan kepada beliau apa yang terjadi sekaligus menggembirakan beliau dengan kajadian itu. Malam itu pas malam kamis, selesai pengajian, saya ikuti beliau dari belakang. Beliau menoleh dan berkata: “Naik, Bakri”. Sayapun mengikuti beliau. Kami masuk ke rumah beliau sampai ke dalam kamar beliau. Beliau mematikan lampu dan berdoa agak lama. Setelah kurang lebih sepuluh menitan, selesai berdoa beliau berkata: “*_sudah Bakri, kada usah bakesah lagi, Abah Tahu ai (yang terjadi).”_* ا.ه. (selesai kisah Guru Haji Bakri)*_Wafatnya Sang Aulia Allah_*KH Muhammad Zaini Abdul Ghani sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Selasa malam, 9 Agustus 2005, sekitar pukul 20.30, Guru Sekumpul tiba di Bandar Udara Syamsuddin Noor, Banjarbaru, dengan menggunakan pesawat carter F-28.Pada hari Rabu, tanggal 10 Agustus 2005 pukul 05.10 pagi, Guru Sekumpul menghembuskan napas terakhir dan berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun di kediamannya sekaligus komplek pengajian, Sekumpul Martapura. Guru Sekumpul meninggal karena komplikasi akibat gagal ginjal.Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum.Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.


Kamis, 21 Juli 2011

Pentingnya bermursyid (berguru)

1.       Dasar-Dasar Al Qur’an Dan Al Hadits
Sebagai manusia yang mendapat tugas mengabdi kepada Allah Swt harus melalui atau menapak jalan untuk mencapai suatu tujuan yaitu berjumpa dengan Allah dan mendapatkan ridla-Nya. Untuk mencapai Allah, hamba tidak berkemampuan, karena dimensi manusia sebagai hamba sangat terbatas. Karena itu, sesuai dengan keinginan Allah Swt, ia menciptakan makhluk perantara sekaligus pengantar manusia untuk mempermudah berhubungan dengan Allah Swt dan mengenalnya dengan baik. Firman Allah dalam hadits Qudsi menceritakan pesisa-Nya di kalangan hambanya sebagai berikut :
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً فَاَرَدْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَّفُوْنِ
Adalah Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya diketahui siapa Aku, maka Aku jadikanlah makhluk-Ku. Maka Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka (para petugas Allah).

Dalam al Qur’an terdapat banyak keterangan mengenai orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, yaitu diberi rahmat dari Allah dan dikaruniai ilmu ladunni, seperti : nabi Hidir guru ruhani Nabi Musa, Lukman al Hakim, Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, pemuda-pemuda penghuni gua atau Ashabul Kahfi dan lain-lain. Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi merupakan contoh pemuda yang telah beriman kepada Tuhannya dan petunjuknya senantiasa bertambah, imannya semakin kuat, kokoh, tidak dapat ditumbangkan oleh siapa pun, termasuk oleh raja yang berkuasa waktu itu. Ashabul Kahfi adalah sosok pemuda-pemuda yang keramat penuh fenomena, mereka adalah bagian ayat-ayat Tuhan :

Demikian itulah termasuk ayat-ayat Allah, siapa yang Allah menyukainya, maka ia mendapat petunjuk, siapa yang Allah sesatkan, maka engkau (Muhammad) tidak mendapatkan untuknya seseorang yang wali yang memintarkan (mendidik)-Nya, tentang urusan dunia, dan urusan keakhiratan. (QS. al Kahfi : 17)

Lalu masalahnya, siapakah mursyid yang wali ini dan di mana tempatnya, apa ciri-ciri atau tanda-tandanya?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang sulit dicari jawaban-jawabannya, kecuali dari orang yang telah dikehendaki Allah mendapat petunjuk. Ciri-cirinya antara lain yang disabdakan Rasulullah, dalam Hadits Qudsi : Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ::
Barang siapa memusuhi seorang Wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan apabila Hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai dari hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah kuwajibkan atasnya, kemudian ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik-baik), hingga Aku mencintainya. Maka apabila ia telah Kucintai, adalah Aku pendengarnya bila ia mendengar, dan Akulah penglihatannya bila melihat, dan Akulah tangannya bila ia mengambil (melakukan sesuatu), dan Akulah kakinya bila ia berjalan. Demi jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan permohonannya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku lindungi dia. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah ra.)

Saidi Syekh Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur Al- Khalidi berfatwa : “Mursyid itu bila dicari (melalui pertanyaan-pertanyaan) maka takkan ketemu. Tetapi apabila amal perbuatannya diikuti, maka pasti ia dijumpai.” Dalam hal ini seorang wali yang mursyid itu dapat diketahui dengan meriset amalan-amalannya secara tekun dan gigih (mujahadah), baik amalan lahiriyah maupun batiniah dalam tempo yang relatif lama dan benar, maka pasti Allah akan menunjukkan ke jalan-Nya yang lurus. Tetapi apabila tidak diriset, maka seseorang tidak dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu adalah wali yang mursyid. Demikian juga apabila seseorang merisetnya dengan cara yang tidak benar, maka ia tidak akan menemukan kesimpulan apapun.

2.       Pengertian Mursyid
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’ yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama. Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.
Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah (Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda:
 Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagian Ulama mengatakan bahwa jumlah para rasul adalah sama dengan bilangan sahabat yang ikut dalam perang badar 313 orang, namun yang wajib diketahui kemudian yang tercantum dalam al Qur’an adalah 25 orang yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishak, Ya’kub, Yusuf, Ayub, Syuaib, Harun, Musa, Yasa’, Dzulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad Saw.
Petugas-petugas Allah dalam membimbing umat setelah Rasulullah adalah para khalifah atau yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin al Muhdiyyin, yang jumlahnya juga tidak diketahui dengan pasti. Karena mereka adalah pemimpin-pemimpin umat yang dimulai dari Abu Bakar sampai turunnya Nabi Isa yang menandai dunia telah berakhir.
Bekal dan amanah yang dititipkan pada mereka untuk umat para rasul, para nabi dan para khalifah Allah adalah kalimat Tauhid yaitu Lailaha illa Allah yang artinya tiada tuhan selain Allah, firman Allah:
Dan tidak kami utus sebelum kamu seorang rasul melainkan kami wahyukan kepadanya : “Bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang sebenarnya) melainkan Aku : oleh yang demikian, berbaktilah kepada-Ku” (QS. al Anbiya’:25)
Inilah kiranya ketika para sahabat bertanya mengenai akhlak dan budi pekerti Rasulullah : Wahai Siti Aisyah tolong gambarkan, apa budi pekerti Rasulullah? maka Siti Aisyah menjawab ”Budi pekerti Rasulullah adalah al Qur’an.” (kaana khuluquhuu al Qur’aanu) Memang Rasulullah Saw pernah bersabda:
تَخَلَّقُوْا بِاَخْلاَقِ اللهِ تَعَالَى
Berbudilah kamu sekalian dengan budi pekertinya Allah Ta’ala.

Dengan demikian, secara lahiriah bahwa para rasul dan para khalifah itu yakin secara jasmani mereka adalah manusia biasa, yakni mereka makan, minum, kawin, tidur, dagang, sakit yang merupakan sifat kebolehan bagi mereka, akan tetapi batin mereka (ruhani mereka) adalah kelompok ruh-ruh yang disucikan oleh Allah, bapak Prof. DR. Kadirun Yahya MA menamakan dengan ‘nurun ala nurin,’ Syaikh Abdul Qadir Jailani menamakannya dengan hakikat Muhammad (Nur Muhammad) yang pada intinya adalah Allah Swt sendiri.
Itulah sebabnya ketika nur Muhammad bersemayam dan dititipkan kepada nabi Adam, maka Allah Ta’ala memerintahkan semua makhluknya untuk bersujud kepadanya, maka spontan saja para makhluk yang terbuka hijabnya serta merta menaati perintah itu. Sedangkan makhluk yang tertutup hijabnya, mendewakan akal dan takabur menolak terhadap perintah itu. Dengan pongahnya mereka mengatakan, “Kami hanya akan menyembah kepada Allah semata, kami tidak mau menyekutukannya dengan menyembah manusia seperti Adam, kami tak percaya bahwa Tuhan berkehendak tajalli (mendlahir) pada hambanya yang dikasihinya semacam Adam.
Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan saleh.
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah.
Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian. Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ
Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)
 Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ
Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini.

Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
a.       Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
b.       Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
c.        Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
d.       Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
e.        Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
f.        Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam setiap beramal dan beribadah atau dalam keadaan lainnya, murid wajib menjaga kehadiran wajah mursyidnya, dan wajah itu senantiasa dikenang di antara kedua matanya. Adalah sangat penting menghadirkan wajah Guru Mursyid, bahkan ia termasuk adab yang paling utama dalam beramal dan berzikir kepada Allah. Banyak manfaat yang di dapat dari mengenang dan menghadirkan wajah mursyid dalam segala aktivitas berdasar al Quran dan al Hadist di antara lain :
Hamba mendapat petunjuk dalam segala aktivitasnya dan terhindar dari segala kesesatan seperti dalam firman Allah Swt sebagai berikut
Siapa yang ditunjukkan Allah maka ia mendapat petunjuk, siapa yang disesatkan-Nya maka engkau (Muhammad) tidak menjumpai seorang wali yang mencerdikkannya. (QS. al Kahfi : 17)

a.       Mursyid dapat mengantarkan murid bersambung kepada Allah Swt
كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلىَ اللهِ
Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah maka jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah. (HR. Abu Daud)

b.       Mengingat Mursyid mampu mengantarkan hamba berzikir kepada Allah. Rasulullah bersabda :
اَفْضَلُكُمُ الَّذِيْنَ اِذَا رُئُوْا ذُكِرَالله ُتَعَالَى لِرُؤْيَتِهِمْ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang ketika di ingat, maka Allah di ingat. (HR. Hakim dari Anas ra)

c.        Mengingat Mursyid dan bersama dengannya secara dlahir batin dapat mengantarkan murid berbuat taat kepada Allah Swt. Firman Allah dalam hadits qudsi:
اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِى وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِى اَلَّذِيْنَ يُذْكَرُوْنَ بِذِكْرِى وَاُذْكَرُ فِى ذِكْرِهِمْ
Sesungguhnya wali-wali-Ku dari kalangan hamba-hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari kalangan makhluk-Ku yaitu orang-orang yang diingat apabila mengingat Aku dan Aku pun sekaligus ada di sana (diingat) apabila mengingat mereka.

3.       Kriteria Guru Mursyid
Adapun fungsi guru yang kita kenal adalah transfer of knowledge, dia mengajarkan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sedangkan pelajaran yang diberikan mursyid kepada muridnya merupakan transfer of spiritual yaitu Iman dan Takwa (Imtak). Walaupun fungsi mursyid itu sama dengan fungsi guru yaitu memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya, tetapi bidangnya adalah ruhani yang sangat halus yang berpusat pada lubuk hati sanubari. Jadi sifatnya tidak kelihatan, gaib atau metafisik.
Berdasarkan pengertian tentang mursyid, syarat dan dalil-dalilnya, maka tidak semua orang bisa menjadi mursyid. Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat. Oleh karenanya seorang mursyid menurut Muhammad Amin al Kurdi harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut:
a.       Alim, dan ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan-tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih dan syariat serta masalah tauhid ‘aqidah’ dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
b.     Arif, dengan segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta memperbaiki seperti semula.
c.     Bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya. Apabila melihat ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaannya yang kurang baik, maka dia bersikap sabar, memperbanyak maaf tidak bosan-bosan mengulang-ulang nasihatnya serta tidak tergesa-gesa memutuskan hubungan murid yang seperti itu dari silsilah  thareqatnya. Tetapi hendaknya dia tetap dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan bimbingan-bimbingannya kepada para murid asuhannya.
d.     Pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di depan banyak orang. Tetapi sebaiknya tetap mengawasinya dengan pandangan mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang bijaksana.
e.     Tidak menyalahgunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka.
f.      Tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal melakukan ibadah yang sunnat atau menjauhi perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala macam keadaan dan perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh lebih dahulu, baru kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia berdiam saja.
g.     Tidak terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersenda gurau dengan para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syariat dan  thareqat dengan merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi pegangan alirannya. Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah Swt dengan amalan-amalan yang sah.
h.     Mengusahakan agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak pada batiniyah para muridnya.
i.       Bijaksana, lapang dada dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu, dan senantiasa bermurah hati di dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
j.      Apabila dia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya, maka hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergi ber-khalwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
k.     Apabila dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati para muridnya, hendaknya dia segera mengambil inisiatif yang bijaksana untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya dan sikap hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
l.       Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan-kesempatan tertentu kepada muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
m.   Memberikan perhatian yang khusus pada kebanggaan ruhani yang sewaktu-waktu dapat timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan dan pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru’yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal gaib) yang terbuka baginya dan musyahadah (penyaksian hal-hal gaib) yang di dalamnya, di dalam semua itu terdapat hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak menanggapi hal tersebut. Sebaiknya, dia berikan kepada murid tersebut tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid  thareqat bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan ruhani, tetapi sering terjadi hal-hal yang tidak benar menurunkan martabatnya kembali.
n.     Melarang para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan tentang karamah-karamah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia membiarkan hal tersebut, lambat laun si murid bisa menjadi rusak karenanya, sebab ia akan bermartabat takabur dan berbesar diri terhadap yang lainnya.
o.     Menyediakan tempat ber-khalwat (i’tikaf / suluk) yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap orang boleh masuk kecuali untuk pertemuan khusus. Begitu pun dirinya, juga menyiapkan tempat khalwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
p.     Menjaga agar para muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidak melihat cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain-lain sebagainya. Karena yang demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi penghormatan si murid kepadanya.
q.     Mencegah para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa memperlambat tercapainya latihan-latihan ruhani yang dia berikan kepada mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.
r.      Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid  thareqat lain, karena yang demikian itu acap kali memberikan akibat yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila dia melihat bahwa hal itu tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
s.      Melarang para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal itu akan dapat membangkitkan dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka tengah dididik berjalan menggapai kebahagiaan akhirat yang hakiki.
t.      Menggunakan kata-kata yang lemah lembut serta menawan hati dan pikiran dalam khutbah-khutbahnya. Jangan sekali-sekali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman, karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
u.     Apabila dia berada di tengah-tengah para muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan, kiri, tidak mengantuk apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah-tengah pertemuan, tidak memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara dan tidak melakukan hal-hal kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukannya itu akan diikuti oleh para muridnya yang menganggapnya sebagai contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
v.     Tidak memalingkan muka ketika ada seorang atau beberapa orang muridnya menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan santun yang sebaik-baiknya.
w.    Suka menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari tahu sebabnya. Apabila murid itu ternyata sakit, dia segera berusaha menengoknya. Dan kalau ternyata sedang ada uzur, maka dia kirimkan salam kepadanya.
x.     Jika salah seorang muridnya menemuinya, maka ia jangan sampai memasamkan mukanya. Jika ia hendak keluar, hendaknya ia tetap mendo’akan para murid-muridnya walau tanpa diminta. Jika ia hendak menemui salah seorang muridnya, hendaknya ia dalam keadaan yang paling sempurna dan penampilan yang paling baik. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.528 – 531).

Prof. DR. H.S.S. Kadirun Yahya dalam bukunya, Ibarat Sekuntum Bunga Dari Taman Firdaus hlm.18 berkata, “Syarat-syarat bagi seorang mursyid amatlah berat, dan kalau saya ditanya, apakah saya telah memenuhi syarat untuk mursyid? Maka jawabnya adalah amat berat untuk mengatakan “ya,” atau kalau mau jawaban yang murah saja, “tidak tahu” Karena sebenarnya bukan saya sendiri yang harus menilai kualitas saya – begitulah beratnya kriteria mursyid – namun saya melaksanakan tugas dengan sepenuh tenaga, sepenuh jiwa dengan hati yang sebulat-bulatnya. Siap melaksanakan suruh dari pada guru saya yang juga merupakan suruh dari Allah dan Rasul, yaitu menegakkan dzikrullah dalam diri pribadi saya dan dalam pribadi umat. Jadi beliau-beliau yang diataslah yang menilai akan kualitas diri saya.”
Selanjutnya menurut beliau, kriteria guru mursyid dapat dilukiskan atau digambarkan secara riil ke dalam tujuh butir antara lain sebagai berikut :
a.       Pilih guru kamu yang mursyid, (dicerdikkan oleh Allah), bukan oleh yang lain-lain dengaan mendapat izin Allah dan ridla-Nya.
b.       Ia adalah kamil lagi mukamil (sempurna lagi menyempurnakan) karena karunia Allah.
c.        Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau berdo’a, maka berbekas pada murid, si murid berubah ke arah kebaikan).
d.       Masyhur ke sana ke mari. Kawan dan lawan mengatakan “Ia seorang guru besar.”
e.        Tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yakni tidak dicela oleh al Qur’an dan al Hadits serta ilmu pengetahuan.
f.        Yang tidak kuat mengerjakan yang harus, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.g.
g.         Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulat hatinya. Ia kasih akan Allah, ia bergelora dalam dunia, bekerja keras untuk mengabdi kepada Allah Swt bukan untuk mencintai dunia.

4.       Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Bermursyid.
Abdul Qadir Isa dalam bukunya Hakaikut Tasawuf hlm. 36 menyebutkan, ulama-ulama tasawuf yang memandang pentingnya berguru di hadapan mursyid yang wali antara lain :
a.       Abu Hamid al Ghazali
Abu Hamid al Ghazali berkata, “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi.” Selanjutnya ia menuturkan pengalamannya, sebab-sebab ia berguru:
“Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah di dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali jika Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka terhadap mereka.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syaikh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatiku akan semakin tajam.”
Abu Hamid al Ghazali juga berkata, “Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Saw wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”
Di antara yang pernah dikatakan oleh al Ghazali adalah, “Murid membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.”
Di samping itu, Abu Hamid al Ghazali juga pernah menyatakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara. Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.”

b.       Abdul Qadir al Jazairi
Dalam al Muwaqif, Abdul Qadir al Jazairi mengatakan bahwa Allah mengisahkan ucapan Musa as. kepada Khidir as, “Bolehkah aku mengikutimu, supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66)
Ketahuilah bahwa seorang murid tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu dan kondisi spiritual Syaikhnya, kecuali jika dia tunduk secara sempurna kepadanya, melakukan apa saja yang diperintahkannya dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Di samping itu, dia juga harus meyakini kemuliaan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Syaikhnya. Dia membutuhkan kedua hal itu. Sebagian orang meyakini kesempurnaan Syaikhnya, lalu menyangka bahwa itu sudah cukup untuk meraih apa yang dituju dan dicarinya, sehingga dia tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Syaikhnya dan tidak menjauhi apa yang dilarangnya.
Lihatlah Musa as. yang dengan kedudukannya yang mulia masih memohon untuk bertemu dengan Khidir as. dan menanyakan kepada beliau tentang jalan untuk bertemu dengan Tuhannya. Musa telah menanggung kesusahan dan keletihan dalam perjalanan, sebagaimana terekam dalam firman Allah, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (QS. al Kahfi : 62) Namun demikian, ketika Musa tidak mematuhi satu larangan saja, “Janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al Kahfi : 70) Musa tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari ilmu-ilmu Khidir. Padahal Musa merasa yakin bahwa Khidir lebih mengetahui tentang Allah dari padanya. Hal ini terekam dalam firman Allah saat Musa berkata, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu dariku.” Allah berfirman, “Ada, yakni hambaku, Khidir.” Di sini Musa tidak mengkhususkan sebagian ilmu atas sebagian yang lain, tapi menyebutnya secara umum.
Pada awalnya, Musa tidak mengetahui bahwa potensinya tidak cukup untuk menerima sesuatu dari ilmu-ilmu Khidir. Sementara Khidir sudah mengetahui itu sejak awal perjumpaan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sabar bersama denganku” (QS. al Kahfi : 67). Ini merupakan salah satu bukti pengetahuan Khidir.
Setiap orang yang berakal hendaknya memperhatikan akhlak kedua orang yang mulia ini. Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Artinya : Apakah engkau mengizinkanku mengikutimu, agar aku dapat belajar kepadamu? Di dalam kalimat yang diungkapkan Musa ini terdapat kemanisan akhlak yang dapat dirasakan oleh setiap orang yang memiliki perasaan yang sehat.
Kemudian Khidir menjawab, “Jika engkau mengikutiku, maka jangan bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” (QS. al Kahfi:70). Khidir tidak menjawab dengan, “Jangan bertanya kepadaku”, lalu diam, hingga Musa menjadi bingung. Tapi dia berjanji akan menerangkan kepada Musa tentang ilmu atau hikmah dari apa yang dilakukannya. Dengan demikian, kesempurnaan Syaikh dalam ilmu yang dicari dan dituju tidak akan berguna apabila murid tidak menaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
Yang dapat diambil dari kesempurnaan Syaikh hanyalah petunjuknya yang dapat mengantarkan kepada apa yang dituju. Selebihnya Syaikh tidak dapat memberikan kepada muridnya kecuali apa yang diberikan oleh potensinya. Dan potensi seorang murid terletak pada diri dan perbuatannya. Ibarat seorang dokter ahli yang mendatangi seorang pasien dan menyuruhnya untuk meminum obat tertentu, tapi si pasien tidak meminumnya. Apakah si pasien dapat memanfaatkan sesuatu dari kepintaran dokter? Ketidakpatuhan pasien adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Sebab, apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyediakan sebab-sebabnya. Hanya saja, seorang murid diharuskan untuk mencari seorang Syaikh yang paling sempurna dan mulia. Sebab, dikhawatirkan dia akan dituntun oleh seorang yang tidak mengetahui jalan untuk sampai kepada maksud yang dituju, sehingga hal itu menjadi penyebab terjerumusnya dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
c.        Ibnu Athaillah as Sakandari
Ibnu Athaillah as Sakandari berkata, “Seseorang yang bertekad untuk meraih petunjuk dan meniti jalan kebenaran hendaklah mencari seorang Syaikh dari ahli thareqat, yang meninggalkan hawa nafsunya dan teguh mengabdi kepada Tuhannya. Apabila dia menemukan seorang Syaikh yang seperti itu, maka hendaklah dia menaati apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa saja yang dilarangnya.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Syaikhmu bukanlah orang yang kau perhatikan perkataannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang dari engkau mengambil sesuatu yang positif. Syaikhmu bukanlah orang yang ungkapan-ungkapannya menebakmu, tapi Syaikhmu adalah orang yang petunjuk-petunjuknya mengalir dalam dirimu. Syaikhmu bukanlah orang yang mengajakmu menuju pintu, tapi Syaikhmu adalah orang yang menghilangkan tabir antara dirimu dan dirinya. Syaikhmu bukanlah orang yang menuntunnya dengan ucapannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya. Syaikhmu adalah orang yang mengeluarkan dari penjara hawa nafsu dan memasukkanmu ke hadapan Tuhan Yang Maha Mulia. Syaikhmu adalah orang yang senantiasa membersihkan cermin hatimu, sehingga tampak jelas padanya cahaya-cahaya Tuhanmu. Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu untuk menuju Allah, lalu engkau bangkit menuju-Nya. Dan dia terus mendampingimu hingga engkau berada di hadapan-Nya. Lalu dia menuntunmu menuju cahaya ilahiyah sambil berkata kepadamu, “Inilah engkau dan Tuhanmu.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Jangan engkau bergaul dengan Syaikh yang tidak dapat membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya dan tidak dapat menunjukkanmu menuju Allah dengan ucapan-ucapannya.”

d.       Abdul Qadir al Jailani
Dalam Futuh al Ghaib, Abdul Qadir al Jailani menulis bait syair berikut,
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syaikh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkanlah apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat kecukupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum (sufi)

e.        Abdul Wahab Asy Sya’rani
Asy Sya’rani berkata, “Kami pernah di baiat atas nama Rasulullah Saw agar kami melaksanakan shalat dua rakaat setiap kali selesai wudhu’, dengan syarat kami tidak boleh berbicara di dalam hati kami tentang sesuatu dari urusan dunia atau sesuatu yang tidak disyari’atkan di dalam shalat. Setiap orang yang hendak melakukan amal ini membutuhkan seorang Syaikh yang berjalan bersamanya, sehingga dia dapat melenyapkan segala keinginan yang membuatnya lupa akan perintah Allah.”
Lalu dia berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang selalu memberimu nasihat dan dapat membuatmu sibuk dengan Allah. sehingga dia dapat menghilangkan pembicaraan hatimu di kala engkau shalat, seperti ucapanmu, “Aku akan pergi ke sana”, “Aku akan melakukan ini dan itu”, “Aku akan mengatakan ini kepada fulan” dan sebagainya. Jika tidak, maka engkau akan selalu berbicara di dalam hati di setiap shalatmu. Dan tidak satu pun shalatmu yang dapat engkau bebaskan dari pembicaraan tersebut, baik shalat wajib maupun sunah. Ketahuilah hal itu! Engkau tidak akan dapat mencapai semua itu tanpa bimbingan seorang Syaikh. Ibarat orang-orang yang mendebat tanpa ilmu. Sikap seperti ini tidak baik bagimu.”
Asy Sya’rani juga berkata, “Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syaikh, niscaya orang seperti al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syaikh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah mengatakan, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah membuat kebohongan kepada Allah.” akan tetapi, setelah memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).” Akhirnya, keduanya mengakui jalan tasawuf dan bahkan memujinya.”
Asy Sya’rani melanjutkan, “Cukuplah kemuliaan bagi ahli thareqat perkataan Musa kepada Khidir, ” Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya. al Ghazali juga mencari seorang Syaikh yang dapat menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal dia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syaikh Abu Hasan asy Syadzili.” Apabila kedua ulama besar ini, yakni al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam, membutuhkan seorang Syaikh, padahal keduanya adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu syari’at, maka orang selain mereka berdua lebih membutuhkannya lagi.”

f.        Abu Ali ats Tsaqafi
Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak akan sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syaikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasihat-nasihat. Dan barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syaikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah.”
g.       Abu Madyan
Abu Madyan berkata, “Barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari para Syaikh yang berakhlak mulia, maka dia akan merusak para pengikutnya.”

h.       Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tashawwuf, Syaikh Ahmad Zaruq berkata, “Mengambil ilmu dan amalan dari para Syaikh adalah lebih baik dibanding mengambilnya dari selain mereka.” Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (QS. al Ankabut : 49). Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. (QS. Lukman : 15)
Dengan demikian, mengangkat seorang Syaikh adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah. Rasulullah mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abbas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka. Sedangkan pemanfaatan himmah (kemauan) dan kondisi spiritual ditunjukkan oleh Anas, “Belum lagi kami menghilangkan debu dari tangan kami setelah mengubur Rasulullah, tapi telah kami mencela hati kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Anas menjelaskan bahwa melihat pribadi Rasul yang mulia adalah bermanfaat bagi hati para sahabat. Oleh sebab itu, Beliau memerintahkan untuk bergaul dengan orang-orang saleh dan melarang bergaul dengan orang-orang fasik.

i.         Ali al Khawas
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal
tanpa penunjuk jalan, sehingga engkau terjerumus ke dalam jurang-jurangnya

Penunjuk jalan dan mursyid akan dapat mengantarkan seorang salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkannya dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan dan mursyid sebelumnya telah melewati jalan itu di bawah bimbingan seseorang yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberinya izin untuk membimbing orang lain. Ibnu al Banna menjelaskan ini di dalam syairnya,
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
untuk mengabarkan apa yang telah didapat

j.         Syaikh Muhammad al Hasyimi
Syaikh Muhammad al Hasyimi berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang bermakrifat kepada Allah, tulus, selalu memberimu nasihat serta memiliki ilmu yang benar, niat yang luhur dan kondisi spiritual yang diridlai. Sebelumnya Syaikh itu telah menempuh thareqat di bawah bimbingan para mursyid, mengambil akhlaknya dari akhlak mereka dan mengetahui seluk beluk jalan menuju Allah. Jika demikian, maka dia akan dapat menyelamatkanmu dari jalan-jalan yang membinasakan, mengarahkanmu untuk bergabung dengan Allah dan mengajarimu untuk menjauh dari selain Allah. Dia akan berjalan bersamamu, hingga engkau sampai kepada Allah. Dia akan membebaskanmu dari penyakit-penyakit jiwamu dan memperkenalkanmu dengan kebaikan Allah kepadamu. Apabila engkau telah mengenal-Nya, maka engkau akan mencintainya. Apabila engkau telah mencintainya, maka engkau akan bermujahadah di jalan-Nya. Apabila engkau telah bermujahadah di jalan-Nya, maka dia akan menunjukkanmu kepada jalan-Nya dan memilihmu untuk berada di dekat-Nya.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al Ankabut : 69). Oleh karena itu, hukum bergaul dengan Syaikh (mursyid) dan mengikutinya adalah wajib. Dasarnya adalah firman Allah, “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman : 15) Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. at Taubah : 119)
Selain itu, di antara syarat seorang mursyid adalah bahwa dia telah mendapat izin untuk mendidik manusia dari seorang mursyid kamil yang memiliki mata hati yang cemerlang. Jangan sampai engkau mengatakan, “Di mana aku dapat menemui mursyid yang memiliki ciri-ciri seperti itu?” Aku akan mengatakan kepadamu seperti yang dikatakan oleh Abu Athaillah as Sakandari dalam Latha’if al Minan, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka.”
Oleh sebab itu, bersungguh-sungguhlah dengan tulus, niscaya engkau akan menemukan seorang mursyid yang memiliki ciri-ciri demikian. Seorang penyair sufi mengatakan,
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya

Dalam Latha’if al Minan, Ibnu Athaillah juga berkata, “Hendaklah engkau mengikuti seorang wali yang Allah telah menunjukkannya kepadamu dan memperlihatkan kepadamu sebagian dari kekhususan dirinya. Engkau memandang bahwa kemanusiaannya lenyap dalam kekhususan dirinya. Sehingga engkau tunduk untuk mengikutinya, dan dia berjalan bersamamu di jalan kebenaran.”
Dalam al Hikam, Ibnu Athaillah berkata, “Maha Suci Allah yang tidak memberikan petunjuk menuju para wali-Nya kecuali dengan petunjuk menuju dirinya, dan tidak menyampaikan seseorang kepada mereka kecuali yang dikehendaki-Nya untuk sampai kepadanya.” (Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm.36-48)