IBADAH; JALAN REZEKI UTAMA Bekerja DENGAN Allah, Bekerja UNTUK Allah
Memperluas Jalan Usaha
Memperbesar Hasil Usaha
Semula banyak orang berpikir bahwa hasil usaha dia adalah seukuran kerja, seukuran usaha, seukuran proyek, seukuran dagangan, atau seukuran modalnya. Begitulah selama ini pikiran kita bekerja. Tidak pernah terpikirkan atau jarang terpikirkan bahwa hasil usaha bisa DIPERBESAR lewat jalan ibadah, dan jalan usaha bisa DIPERLUAS lewat jalan ibadah!
Ya, banyak di antara kita yang tidak berani berpikir bahwa jalan ibadah bisa menambah dan memperluas rezeki. Yakin, barangkali iya. Maksudnya, iya yakin bahwa "jalan ibadah bisa menambah dan memperluas jalan rezeki", tapi membicarakannya hingga "menjadi sebuah metode", menjadi sebuah solusi yang "diataskertaskan", tidak sedikit yang kurang berani. Entahlah, atau saya yang "terlalu berani?"
Padahal sebagai sebuah petunjuk, Al-Qur'an adalah petunjuk,
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil..." (QS. al-Baqarah: 185)
Tentu saja termasuk "petunjuk" untuk mencari rezeki dari Yang Maha Memiliki segala perbendaharaan rezeki
Ikhlas, Do'a, dan Harapan
Memberi Spirit dalam Beribadah
Wacana-wacana yang menjadikan "kekurangberanian" atau "kesungkanan" untuk meyakini keyakinan itu secara bulat, baik di praktik maupun di teori (menjadi metode) adalah sebab ada wacana bahwa "Ibadah itu harus ikhlas. Tidak boleh beribadah karena dunia-Nya. Harus karena wajah-Nya semata".
"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. al-An'aam: 162)
Kalau kalimatnya seperti di atas, siapa yang berani memberi kritik? Siapa yang berani mengoreksi? Dan siapa yang berani memberi catatan? Saya pun tidak akan berani. Apa pun yang kita lakukan tentu harus mengikhlaskan diri kita karena Allah semata.
Tapi tunggu dulu! Orang-orang yang mencari dunia milik Allah lewat jalan ibadah pun tidak mesti juga serta merta dikatakan tidak ikhlas. Bagaimana kalau mereka secara cerdas, "memisahkan" antara keikhlasan dan do'a? "Memisahkan" antara keikhlasan dengan harapan? Artinya ketika mereka menjalankan, mereka tahu dengan ilmunya bahwa dengan beribadah, dunia akan Allah dekatkan, tapi pada saat yang sama, mereka beribadah sepenuh hati kepada Allah. Harapan pun dia gantungkan semata hanya kepada Allah. Bahwa dia menempuh jalan ibadah, sebab karena Allah dan Rasul-Nya memberi petunjuk demikian. Karenanya, harus percaya dan mengikutinya.
"Katakanlah, 'Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. al-A'raaf: 158)
Contoh salah satu bentuk ibadah adalah sedekah. Lalu Allah memberitahu bahwa kalau sedang disempitkan rezekinya, bersedekahlah. Nanti Allah akan buat apa-apa yang sulit, jadi mudah.
"Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (QS. ath-Thalaaq: 7)
Lalu, kita-kita yang sedang diberi nikmat kesulitan, percaya dan berkenan mengikuti dengan harapan agar benar-benar kesulitan kita dimudahkan Allah. Jalan-Nya yaitu jalan sedekah, kita turuti betul, alias kita bersedekah.
Salahkah kita? Apakah kita disebut tidak ikhlas hanya karena beribadah karena berharap akan kebenaran janji-Nya? Salahkah bila kita percaya sama omongan-Nya? Sama "iming-iming-Nya?" Salahkah juga kalau kita kemudian bersedekah karena kepengen diberikan kemudahan atau karena kesulitan kita kepengen dihapus-Nya? Sedang ini adalah firman-Nya?
Nampaknya tega betul bila disebut tidak ikhlas. Saya lebih suka menyebutnya, "saking percayanya sama petunjuk Allah, lalu kita melakukannya". Dan karena harapan adalah hanya dengan berharap kepada-Nya, maka kita pun berharap agar Allah benar-benar memenuhi janji-Nya, setelah kita tunaikan sedekah.
Saya lebih kepengen menyebutnya dengan "inilah iman", percaya pada seruan dan petunjuk Allah. Dan "inilah tauhid", kita mengesakan Allah. Iman dan tauhid yang kemudian berbuah amal shaleh
Bahkan menurut pendapat saya, inilah bahkan CARA TERCERDAS dan TERHEBAT sepanjang sejarah cara-cara yang dikerjakan manusia, yaitu tinggal mengikuti saja petunjuk-petunjuk di dalam Al-Qur'an. Gampang! Entah dalam mencari rezeki, atau melepas kesulitan, atau hal-hal lainnya. Sebab cara ini dan petunjuk ini datangnya dari Allah. Dan ketika manusia menjalankan petunjuk Allah, bukankah ia menjadi sebuah ibadah tersendiri? Malah ibadah ini begitu indah dan memberi semangat dalam nilai. Ibadah yang tumbuh atas dasar keyakinan kepada apa yang digariskan Allah, pemilik segala kemudahan. Kita melakukan karena kita percaya pada-Nya. Kita melakukan karena kita yakin pada Allah dan kita mengetahui itu. Lalu iman kita bekerja dengan kekuatan penuh.
Maka, apakah setelah dikembangkan menjadi paragraf di atas masih terjadi benturan? Saya pikir ini adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang malah harus dikupas dan ditelaah lebih jauh lagi.
Lalu, ketika ada yang percaya kemudian menjalankan dan merasakannya, salahkah juga bila ia bercerita ini kepada kawan-kawannya, kepada sekitarnya? Bahwa bersedekahlah jika ingin dicabut segala kesulitannya? Lalu salahkah dia bila dia menjadikan pengetahuannya, pengalamannya, sebagai sebuah metode? Bahwa kalau mau keluar dari masalah, bersedekahlah?
Kalau menjadi metode, maka bisa dengan mudah diikuti, dicontoh, dan dirasakan oleh banyak orang. Betapapun, success story lebih mudah masuk ke hati dan pikiran orang. Juga lebih mudah diserap dan masuk menjadi pemahaman bagi orang banyak.
Langkah dan Hasil
Kebetulan dan Metode
Supaya gampangnya saya berikan contoh.
Ada seorang yang bersedekah Rp. 1000 di satu shalat Jum'at. Setelah shalat Jum'at dia makan di warung dekat masjid. Ketika akan bayar, makanannya dibayarin orang. Jumlahnya katakanlah mendekati Rp. 10.000 atau Rp. 10.000. Tapi orang ini tidak menyadari dengan ilmunya bahwa peristiwa ini ada kaitannya dengan sedekahnya yang Rp. 1000 di waktu shalat Jum'at. Orang ini tetap bersyukur kepada Allah, ada yang bayarin makanannya. Tapi orang ini bersyukur biasa, bersyukur bukan bersyukur karena ilmunya. Bedanya ada! Yakni di peningkatan amaliyah kemudiannya.
Terus, kita bikin sampel yang berbeda. Sebut saja ada yang bersedekah Rp. 1000. Sama peristiwanya. Setelah sedekah, dia kemudian makan dan ada yang bayarin.
Berbeda dengan orang yang satu. Ia bersedekah yang sama, sama-sama Rp. 1000. Tapi yang satu ini memahami satu hal, yakni bahwa Allah telah menjanjikan bayaran 10 kali lipat bagi mereka yang mau bersedekah. Jadi, ini di mata dia, bukan kebetulan. Ketika ia dibayarin, ia kemudian tambah menyadari dan tambah meyakini kebenaran janji Allah. Dan mestinya, kelak ia akan mengubah jumlahnya, atau minimal mengistiqamahkan ibadahnya. Kalau tidak, maka kebodohanlah baginya. Sudah Allah berikan ilmu, hikmah dan pengalaman, tidak bertambah imannya.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." (QS. al-Anfaal: 2)
Ketika ilmu masuk, ia memahami. Ini bolehlah disebut bergetar. Kemudian bergerak untuk mengamalkan. Ketika terbukti, bertambah-tambah imannya. Pengertiannya, bertambah-tambah. Alias sebenarnya bagi seorang Mukmin, tanpa perlu pembuktian pun sudah beriman.
Korelasi Gerakan
Akhirnya, banyak kejadian yang sebenarnya punya korelasi antara hasil dengan langkah, atau sebaliknya, langkah dengan hasil, dianggap sebuah kebetulan yang sifatnya "normatif". Seperti di atas tadi. Buat seorang yang tidak berilmu, kebetulan saja bila ia dibayari orang makan siangnya, bukan karena ia bersedekah ketika shalat Jum'at. Beda dengan yang berilmu, yang menganggap hal tersebut adalah bukan kebetulan.
Inilah saya sebut sayang bila tidak dimetodekan. Seseorang cenderung tidak mengulangi, tidak istiqamah, karena ya itu tadi, barangkali dianggap sebuah kebetulan. Padahal, yang namanya sistem, maka ia akan membentuk ketetapan hasil yang akan cenderung baku. Artinya, bila dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka subhanallah, seseorang akan naik terus derajatnya. Dan ini pun semua terjadi atas ridha dan izin-Nya.
Berupaya Mencari Sesuatu di Balik Kisah
Buku yang ada di tangan saudara ini adalah buku yang sederhana. Dia hanya mencuplik satu dua kisah saja yang biasa ditemui di keseharian. Bahkan, ada yang mengalaminya. Buku ini hanya memberi bobot penggalian kisah-kisah tersebut dan menyuguhkan kepada pembaca; bahwa ternyata di balik kisah itu ada sebuah metode yang kalau diikuti dia akan berulang kejadiannya, bahkan akan menjadi lebih hebat lagi hasilnya bila bobot amaliyahnya ditambah kualitas dan kuantitasnya.
Mencari Rezeki Cara Mudah
Mencari Rezeki Cara Repot
Saudaraku, dalam urusan mencari rezeki, mencari dunia-Nya, Allah memberikan cara yang gampang bagi manusia, memberikan cara yang mudah bagi manusia. Tapi manusia senangnya memilih cara yang repot, cara yang sukar. Padahal Allah tentu yang paling tahu tentang kunci-kunci perbendaharaan rezeki-Nya.
Allah menyebut kunci segala kunci bagi manusia itu adalah dengan beribadah kepada-Nya.
Sedekah, shalat malam, memberi makan anak yatim, menyenangkan hati yang berduka adalah "hanya sekian" dari apa yang disebut sebagai ibadah. Bila ibadah diperbaiki, maka kehidupan pun akan menjadi lebih baik lagi. Namun bila ibadah buruk, maka kehidupan buruk yang akan terhidang. Ibadah biasa saja, hidup pun akan biasa saja. Tidak ada istimewanya bagi yang tidak mengistimewakan Allah.
Bila nampak dunia yang bagus, tapi di tangan orang-orang yang tidak rajin beribadah, jangan buru-buru silau. Kiranya itulah kebaikan dari Allah, barangkali sebab ilmu dunia dan usaha orang itu sendiri. Namun dia hanya memiliki dunia-Nya, tidak memiliki diri dan keridhaan-Nya. Alangkah cantiknya bila seseorang memiliki dunia dan juga memiliki Allah sebagai Pemilik dunia. Itu bisa ditempuh dengan satu ayunan langkah; ibadah. Tentu dengan memperluas seluas-luasnya cakupan ibadah yang dimaksud sebagai seluruh gerakan, rasa dan pikiran seorang hamba kepada Sang Khaliq.
Tapi apa boleh buat, ketiadaan ilmu yang barangkali membuat seseorang tidak mengetahui bahwa dia bisa punya energi dan kemampuan yang akan melipatgandakan hasil keringatnya, hasil tenaga dan pikirannya. Yakni tadi, lewat jalan ibadah.
Tidak Ada yang Sim Salabim
Jam Ibadah = Jam Kerja
Ikhtiar = Ibadah
Ibadah = Ikhtiar
Tidak ada yang sim salabim. Jalan ibadah pun bukan jalan sim salabim. Dilihat dari keharusan melakukan ikhtiar yang di luar ikhtiar buminya. Jalan ibadah adalah jalan yang berproses. Karenanya, di setiap tahapan ibadah menjadi sebuah kegiatan yang berpahala dan mempunyai kebaikan dunia akhirat, bahkan sejak seseorang baru saja berniat untuk melakukan ibadah.
Di dalam pengantar ini, masih di lembar muqaddimah buku ini, saya ingin memberikan satu garis yang jelas bahwa sungguh pun nanti ada pengisahan-pengisahan yang sepertinya instan, SESUNGGUHNYA TIDAK ADA YANG INSTAN. Tidak ada yang sim salabim abrakadabra. Semuanya memiliki rentetan proses yang saling kait mengkait.
Contoh, anjuran memberi makan anak yatim dan atau menanggung sebanyak-banyaknya anak asuh, harus kita lihat sebagai "jam kerja" tambahan juga. Jam kerja/usaha ikhtiar buminya adalah ketika kerja dan usaha itu sendiri; ya di di toko, di warung, di kantor, di belanja keperluan usaha, di rapat ini rapat itu, di pertemuan bisnis ini dan itu. Sedangkan "jam tambahannya", ya ketika kita duduk bersama anak yatim dan mencari anak asuh tersebut.
Malah nanti akan dipaparkan, jangan-jangan yang jam utama adalah ibadah, baik ketika memberi makan anak yatim, shalat malam, atau lainnya. Dan yang jam tambahan, adalah segala urusan dunia.
Bekerja dengan Allah
Bekerja untuk Allah
Jadi, ibadah adalah sebuah sebuah ikhtiar juga, karena ia adalah kerjaan yang membutuhkan kesediaan waktu, energi, biaya, dan lain sebagainya.
Inilah yang disebut bekerja dengan Allah dan untuk Allah. Karena judulnya bekerja dan berusaha untuk Allah, ya ada bayarannya. Siapa yang bayar? Ya Allah! Dan karena bayarannya dari Allah, ya besarnya berbeda dengan bayaran hasil keringatnya sendiri. Subhanallah.
Kalau di bait-bait di atas contohnya adalah sedekah, sekarang kita coba ambil contoh lain lagi; yaitu shalat Malam.
Untuk bisa shalat Malam kita harus lembur mengorbankan waktu kita meski hanya sekadar dua rakaat. Ya, saya menyebut dua rakaat itu sebagai "lembur". Sebab, kan kita menganggap shalat Malam sebagai pekerjaan sambilan. Lagi bangun ya mengerjakan, tidak bangun, tidak mengerjakan. Malah tidak sedikit yang menganggap "pekerjaan" tahajjud sebagai pekerjaan yang nambah beban keletihan setelah sepanjang hari bekerja. Padahal, "sekadar" dua rakaat saja shalat Tahajjud, ternyata bayarannya jauh lebih besar daripada seorang karyawan bekerja seharian penuh. Mengapa bisa beda?! Sebab si karyawan bekerja di siang harinya dia bekerja untuk manusia. Sedang di waktu malam, dia shalat Malam, Allah menghitungnya sebagai ibadah. Ibadah'kan artinya menghamba sama Allah. Menjadi ‘abid-Nya, menjadi pelayan-Nya. Dan ini juga pekerjaan. Makanya, karena kerjanya sama Allah, maka bayarannya subhanallah pasti lebih besar daripada kerja sama manusia.
Lihat saja bayaran Allah untuk "pekerjaan" yang satu ini, pekerjaan tahajjud; siapa yang shalat dua rakaat di tengah malam, khairun minaddunyaa wa maa fiihaa, maka baginya lebih baik pahalanya (kebaikannya) di sisi Allah daripada dunia dengan segala isinya.
Pengalaman yang Menjadi Ilmu
Ilmu yang Menjadi Metode/Sistem
Berikut ini adalah contoh lainnya lagi. Yah, hitung-hitung pemanasan sebelum mukaddimah yang sesungguhnya dari buku ini. Contoh lainnya adalah sepasang suami istri sahabat saya, Haji Doni dan Hajjah Dian. Dia merasa ada yang aneh. Dia punya pekerjaan, sepi. Lalu "iseng" mengumpulkan anak yatim saban malam Jumat. Dari maghrib sampe isya. Maaf disebut iseng. Sebab dia emang melakukan dengan tidak berlatar belakang "ilmu". Pokoknya melakukan. Tapi siapa sangka bila kemudian dia menyadari bahwa pekerjaan mulai ramai. Proyek-proyek yang bersih, clear & clean mulai berdatangan. Akhirnya dia sadar, bahwa duduknya bersama anak-anak yatim itulah yang sudah menjadi pembuka jalan.
Nah, ini'kan pengalaman yang berbuah menjadi ilmu!
Hebatnya kawan saya itu kemudian menjadikannya metode. Dia jalankan terus sepenuh hati dan dengan keyakinan yang bertambah. Dia berusaha teguh tidak meninggalkan "pekerjaan isengnya". Sebab sekarang sudah dia jadikan pekerjaan utama, bukan sambilan lagi. Makananan yang disediakan buat anak-anak yatim itu pun berubah menjadi lebih terencana dengan menu yang semakin baik.
Kawan saya inilah yang kelak memproduksi film layar lebar KUN FAYAKUUN. Film yang menginspirasikan banyak orang di Indonesia tentang kekuasaan dan kebesaran Allah. Film yang kelak ditonton lebih dari 5 juta penonton ini dengan mudah dibesut oleh kawan saya ini, Haji Doni dan Hajjah Dian. Keduanya menganggap inilah hasil ikhtiar ibadahnya. Belum lagi lahir order-order iklan PSA (Iklan Layanan Masyarakat) dari banyak perusahaan dan departemen, berikut pemasangan iklan-iklannya di TV. Dia betul-betul mengaku berkah menjalani "pekerjaan sambilannya" itu.
Kini, bahkan metode ini dia "pasarkan" kepada kawan-kawannya yang lain untuk sama-sama dipercayai, diikuti, dan dirasakan manfaatnya. Ini bukan saja berbagi ilmu dan pengalaman, tapi berbagi metode, berbagi sistem, tentang bagaimana membuka jalan rezeki lebih banyak dan lebih besar namun tetap di jalan-Nya yang benar dan lurus.
Ibadah = Pekerjaan?
MPA (Manajemen Perusahaan Allah)
Sekarang kita lihat Haji Doni dan Hajjah Dian. Saban malam Jumat beliau berdua mencari anak-anak yatim, mengumpulkan, duduk bersama, dan menyenangkan mereka semua. Benarkah ini bukan pekerjaan?
Saudaraku, inilah pekerjaan. Bekerja dengan Allah dan untuk Allah; yaitu membahagiakan anak-anak yatim.
Benarkah dia cuma bekerja 1 jam? Dari maghrib sampe isya saja di setiap malam Jumat? Enggak juga. Perjalanannya sebenarnya lebih panjang dari "sekadar" 1 jam itu. Dia'kan harus belanja. Dia delegasikan tugas-tugas belanja dan masak ke orang rumahnya/ke pembantunya.
Ini saja, sudah seperti mengelola "MPA (Manajemen Perusahaan Allah)". Seakan-akan orang-orang rumahnya ada yang dia angkat sebagai manajer, sebagai pengelola keuangan, sebagai bagian purchasing (pembelian), stok (gudang), produksi (masak), dsb. Iya'kan?
Lalu berjuangnya dia mengosongkan waktu ashar di hari Kamis supaya sampai di rumah sebelum maghrib pun harus dilihat sebagai "jam kerjanya" juga buat Allah. Begitu selesai isya, anak-anak pun tidak langsung bubar, melainkan sedikit bercengkrama. Ini pun masuk dalam hitungan waktu bekerja dengan dan untuk Allah.
Belum lagi merapikan karpetnya, merapikan piring dan gelasnya, menyapu dan mengepel lantainya, dan mengembalikan ruang tamu, ruang TV yang terpakai oleh anak-anak yatim itu.
Inilah yang Allah suka; manusia mau menyisihkan waktunya untuk diri-Nya. Inilah juga yang disebut ibadah.
Apalagi'kan untuk bisa sedekah. Seseorang harus bekerja dan berusaha. Istilahnya. dari mana Haji Doni dan Hajjah Dian punya duit buat sedekah? Ya dari pekerjaan dan usahanya. Masya Allah!
Insya Allah akan coba dibahas juga di buku ini tentang ayat-ayat terakhir surah al-Jumu'ah yang membahas pengajaran tentang ibadah yang terkait dengan terbukanya pintu rezeki yang pengajaran ini berasal dari Allah, Khairurraziqin, sebaik-baik Pemberi rezeki.
Jalan Rezeki Utama
Ibadah Hidup, Ekonomi Hidup
Saudaraku, saya ulangi kembali kalimat di awal tulisan pengantar ini; selalu ada saja jalan tambahan rezeki yang membuat seorang manusia yang rajin ibadah, mau menambah jalan ibadah, dan juga berkenan untuk mengistiqamahkannya. Ini yang saya yakini! Malah, saya menyebutnya bukan tambahan rezeki, tapi jalan rezeki utama.
Dalam mengerjakan suatu ibadah, mengapa pula ia bisa membuat kita menjadi berkah? Sebab ada mata rantai ekonomi yang terjadi dalam satu praktik ibadah. Sebut saja barusan tadi; memberi makan anak yatim, bersedekah, shalat bersama anak yatim, wah, banyak sekali mata rantai ekonomi yang terbangun dengan sendirinya; membeli makanan, menggunakan jasa transportasi untuk ke pasar dan untuk mengangkut anak-anak yatimnya, menyediakan pakaiannya, dan masih banyak lagi. Berkah dah!
Masjidil Haram & Masjid Nabawi
Tidak aneh bila kita lihat bahwa di dunia ini ada dua pasar yang tidak ada matinya, yaitu pasar di sekitar Masjidil Haram di Makkah dan pasar di sekitar Masjid Nabawi di Madinah. Dua-duanya hidup 24 jam. Mengapa demikian? Sebab masjidnya hidup juga 24 jam. Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang tidak ada matinya. Hidup terus! Karenanya, seluruh rangkaian mata rantai ekonomi terbangun dan hidup pula; bisnis maskapai penerbangan, bisnis katering, bisnis hotel, bisnis pakaian, bisnis ini dan itu. Bahkan, berkahnya dirasakan juga oleh bangsa lain di negara yang lain. Indonesia misalnya. Jaringan hotel yang menjadi penginapan transit jamaah, pesawat Garuda dan seluruh keluarga besar karyawannya, katering lokal, transportasi bus yang mengangkut jamaah dan pengiringnya ke bandara, produsen bahan pakaian dan aksesori umrah dan haji, produsen bensin, dan sebagainya.
Subhanallah, Maha Suci Allah yang bila sudah menggariskan sesuatu, maka itu adalah penuh dengan kemaslahatan.
Apalah lagi kalau si manusianya, kita maksudnya, mau menjadikan segala sesuatu yang kita kerjakan sebagai jalan-jalan ibadah kepada-Nya. Maka Allah betul-betul akan "membayar" kita dengan ridha dan keberkahan dari-Nya.
Memperluas Jalan Usaha
Memperbesar Hasil Usaha
Semula banyak orang berpikir bahwa hasil usaha dia adalah seukuran kerja, seukuran usaha, seukuran proyek, seukuran dagangan, atau seukuran modalnya. Begitulah selama ini pikiran kita bekerja. Tidak pernah terpikirkan atau jarang terpikirkan bahwa hasil usaha bisa DIPERBESAR lewat jalan ibadah, dan jalan usaha bisa DIPERLUAS lewat jalan ibadah!
Ya, banyak di antara kita yang tidak berani berpikir bahwa jalan ibadah bisa menambah dan memperluas rezeki. Yakin, barangkali iya. Maksudnya, iya yakin bahwa "jalan ibadah bisa menambah dan memperluas jalan rezeki", tapi membicarakannya hingga "menjadi sebuah metode", menjadi sebuah solusi yang "diataskertaskan", tidak sedikit yang kurang berani. Entahlah, atau saya yang "terlalu berani?"
Padahal sebagai sebuah petunjuk, Al-Qur'an adalah petunjuk,
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil..." (QS. al-Baqarah: 185)
Tentu saja termasuk "petunjuk" untuk mencari rezeki dari Yang Maha Memiliki segala perbendaharaan rezeki
Ikhlas, Do'a, dan Harapan
Memberi Spirit dalam Beribadah
Wacana-wacana yang menjadikan "kekurangberanian" atau "kesungkanan" untuk meyakini keyakinan itu secara bulat, baik di praktik maupun di teori (menjadi metode) adalah sebab ada wacana bahwa "Ibadah itu harus ikhlas. Tidak boleh beribadah karena dunia-Nya. Harus karena wajah-Nya semata".
"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. al-An'aam: 162)
Kalau kalimatnya seperti di atas, siapa yang berani memberi kritik? Siapa yang berani mengoreksi? Dan siapa yang berani memberi catatan? Saya pun tidak akan berani. Apa pun yang kita lakukan tentu harus mengikhlaskan diri kita karena Allah semata.
Tapi tunggu dulu! Orang-orang yang mencari dunia milik Allah lewat jalan ibadah pun tidak mesti juga serta merta dikatakan tidak ikhlas. Bagaimana kalau mereka secara cerdas, "memisahkan" antara keikhlasan dan do'a? "Memisahkan" antara keikhlasan dengan harapan? Artinya ketika mereka menjalankan, mereka tahu dengan ilmunya bahwa dengan beribadah, dunia akan Allah dekatkan, tapi pada saat yang sama, mereka beribadah sepenuh hati kepada Allah. Harapan pun dia gantungkan semata hanya kepada Allah. Bahwa dia menempuh jalan ibadah, sebab karena Allah dan Rasul-Nya memberi petunjuk demikian. Karenanya, harus percaya dan mengikutinya.
"Katakanlah, 'Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. al-A'raaf: 158)
Contoh salah satu bentuk ibadah adalah sedekah. Lalu Allah memberitahu bahwa kalau sedang disempitkan rezekinya, bersedekahlah. Nanti Allah akan buat apa-apa yang sulit, jadi mudah.
"Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (QS. ath-Thalaaq: 7)
Lalu, kita-kita yang sedang diberi nikmat kesulitan, percaya dan berkenan mengikuti dengan harapan agar benar-benar kesulitan kita dimudahkan Allah. Jalan-Nya yaitu jalan sedekah, kita turuti betul, alias kita bersedekah.
Salahkah kita? Apakah kita disebut tidak ikhlas hanya karena beribadah karena berharap akan kebenaran janji-Nya? Salahkah bila kita percaya sama omongan-Nya? Sama "iming-iming-Nya?" Salahkah juga kalau kita kemudian bersedekah karena kepengen diberikan kemudahan atau karena kesulitan kita kepengen dihapus-Nya? Sedang ini adalah firman-Nya?
Nampaknya tega betul bila disebut tidak ikhlas. Saya lebih suka menyebutnya, "saking percayanya sama petunjuk Allah, lalu kita melakukannya". Dan karena harapan adalah hanya dengan berharap kepada-Nya, maka kita pun berharap agar Allah benar-benar memenuhi janji-Nya, setelah kita tunaikan sedekah.
Saya lebih kepengen menyebutnya dengan "inilah iman", percaya pada seruan dan petunjuk Allah. Dan "inilah tauhid", kita mengesakan Allah. Iman dan tauhid yang kemudian berbuah amal shaleh
Bahkan menurut pendapat saya, inilah bahkan CARA TERCERDAS dan TERHEBAT sepanjang sejarah cara-cara yang dikerjakan manusia, yaitu tinggal mengikuti saja petunjuk-petunjuk di dalam Al-Qur'an. Gampang! Entah dalam mencari rezeki, atau melepas kesulitan, atau hal-hal lainnya. Sebab cara ini dan petunjuk ini datangnya dari Allah. Dan ketika manusia menjalankan petunjuk Allah, bukankah ia menjadi sebuah ibadah tersendiri? Malah ibadah ini begitu indah dan memberi semangat dalam nilai. Ibadah yang tumbuh atas dasar keyakinan kepada apa yang digariskan Allah, pemilik segala kemudahan. Kita melakukan karena kita percaya pada-Nya. Kita melakukan karena kita yakin pada Allah dan kita mengetahui itu. Lalu iman kita bekerja dengan kekuatan penuh.
Maka, apakah setelah dikembangkan menjadi paragraf di atas masih terjadi benturan? Saya pikir ini adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang malah harus dikupas dan ditelaah lebih jauh lagi.
Lalu, ketika ada yang percaya kemudian menjalankan dan merasakannya, salahkah juga bila ia bercerita ini kepada kawan-kawannya, kepada sekitarnya? Bahwa bersedekahlah jika ingin dicabut segala kesulitannya? Lalu salahkah dia bila dia menjadikan pengetahuannya, pengalamannya, sebagai sebuah metode? Bahwa kalau mau keluar dari masalah, bersedekahlah?
Kalau menjadi metode, maka bisa dengan mudah diikuti, dicontoh, dan dirasakan oleh banyak orang. Betapapun, success story lebih mudah masuk ke hati dan pikiran orang. Juga lebih mudah diserap dan masuk menjadi pemahaman bagi orang banyak.
Langkah dan Hasil
Kebetulan dan Metode
Supaya gampangnya saya berikan contoh.
Ada seorang yang bersedekah Rp. 1000 di satu shalat Jum'at. Setelah shalat Jum'at dia makan di warung dekat masjid. Ketika akan bayar, makanannya dibayarin orang. Jumlahnya katakanlah mendekati Rp. 10.000 atau Rp. 10.000. Tapi orang ini tidak menyadari dengan ilmunya bahwa peristiwa ini ada kaitannya dengan sedekahnya yang Rp. 1000 di waktu shalat Jum'at. Orang ini tetap bersyukur kepada Allah, ada yang bayarin makanannya. Tapi orang ini bersyukur biasa, bersyukur bukan bersyukur karena ilmunya. Bedanya ada! Yakni di peningkatan amaliyah kemudiannya.
Terus, kita bikin sampel yang berbeda. Sebut saja ada yang bersedekah Rp. 1000. Sama peristiwanya. Setelah sedekah, dia kemudian makan dan ada yang bayarin.
Berbeda dengan orang yang satu. Ia bersedekah yang sama, sama-sama Rp. 1000. Tapi yang satu ini memahami satu hal, yakni bahwa Allah telah menjanjikan bayaran 10 kali lipat bagi mereka yang mau bersedekah. Jadi, ini di mata dia, bukan kebetulan. Ketika ia dibayarin, ia kemudian tambah menyadari dan tambah meyakini kebenaran janji Allah. Dan mestinya, kelak ia akan mengubah jumlahnya, atau minimal mengistiqamahkan ibadahnya. Kalau tidak, maka kebodohanlah baginya. Sudah Allah berikan ilmu, hikmah dan pengalaman, tidak bertambah imannya.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." (QS. al-Anfaal: 2)
Ketika ilmu masuk, ia memahami. Ini bolehlah disebut bergetar. Kemudian bergerak untuk mengamalkan. Ketika terbukti, bertambah-tambah imannya. Pengertiannya, bertambah-tambah. Alias sebenarnya bagi seorang Mukmin, tanpa perlu pembuktian pun sudah beriman.
Korelasi Gerakan
Akhirnya, banyak kejadian yang sebenarnya punya korelasi antara hasil dengan langkah, atau sebaliknya, langkah dengan hasil, dianggap sebuah kebetulan yang sifatnya "normatif". Seperti di atas tadi. Buat seorang yang tidak berilmu, kebetulan saja bila ia dibayari orang makan siangnya, bukan karena ia bersedekah ketika shalat Jum'at. Beda dengan yang berilmu, yang menganggap hal tersebut adalah bukan kebetulan.
Inilah saya sebut sayang bila tidak dimetodekan. Seseorang cenderung tidak mengulangi, tidak istiqamah, karena ya itu tadi, barangkali dianggap sebuah kebetulan. Padahal, yang namanya sistem, maka ia akan membentuk ketetapan hasil yang akan cenderung baku. Artinya, bila dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka subhanallah, seseorang akan naik terus derajatnya. Dan ini pun semua terjadi atas ridha dan izin-Nya.
Berupaya Mencari Sesuatu di Balik Kisah
Buku yang ada di tangan saudara ini adalah buku yang sederhana. Dia hanya mencuplik satu dua kisah saja yang biasa ditemui di keseharian. Bahkan, ada yang mengalaminya. Buku ini hanya memberi bobot penggalian kisah-kisah tersebut dan menyuguhkan kepada pembaca; bahwa ternyata di balik kisah itu ada sebuah metode yang kalau diikuti dia akan berulang kejadiannya, bahkan akan menjadi lebih hebat lagi hasilnya bila bobot amaliyahnya ditambah kualitas dan kuantitasnya.
Mencari Rezeki Cara Mudah
Mencari Rezeki Cara Repot
Saudaraku, dalam urusan mencari rezeki, mencari dunia-Nya, Allah memberikan cara yang gampang bagi manusia, memberikan cara yang mudah bagi manusia. Tapi manusia senangnya memilih cara yang repot, cara yang sukar. Padahal Allah tentu yang paling tahu tentang kunci-kunci perbendaharaan rezeki-Nya.
Allah menyebut kunci segala kunci bagi manusia itu adalah dengan beribadah kepada-Nya.
Sedekah, shalat malam, memberi makan anak yatim, menyenangkan hati yang berduka adalah "hanya sekian" dari apa yang disebut sebagai ibadah. Bila ibadah diperbaiki, maka kehidupan pun akan menjadi lebih baik lagi. Namun bila ibadah buruk, maka kehidupan buruk yang akan terhidang. Ibadah biasa saja, hidup pun akan biasa saja. Tidak ada istimewanya bagi yang tidak mengistimewakan Allah.
Bila nampak dunia yang bagus, tapi di tangan orang-orang yang tidak rajin beribadah, jangan buru-buru silau. Kiranya itulah kebaikan dari Allah, barangkali sebab ilmu dunia dan usaha orang itu sendiri. Namun dia hanya memiliki dunia-Nya, tidak memiliki diri dan keridhaan-Nya. Alangkah cantiknya bila seseorang memiliki dunia dan juga memiliki Allah sebagai Pemilik dunia. Itu bisa ditempuh dengan satu ayunan langkah; ibadah. Tentu dengan memperluas seluas-luasnya cakupan ibadah yang dimaksud sebagai seluruh gerakan, rasa dan pikiran seorang hamba kepada Sang Khaliq.
Tapi apa boleh buat, ketiadaan ilmu yang barangkali membuat seseorang tidak mengetahui bahwa dia bisa punya energi dan kemampuan yang akan melipatgandakan hasil keringatnya, hasil tenaga dan pikirannya. Yakni tadi, lewat jalan ibadah.
Tidak Ada yang Sim Salabim
Jam Ibadah = Jam Kerja
Ikhtiar = Ibadah
Ibadah = Ikhtiar
Tidak ada yang sim salabim. Jalan ibadah pun bukan jalan sim salabim. Dilihat dari keharusan melakukan ikhtiar yang di luar ikhtiar buminya. Jalan ibadah adalah jalan yang berproses. Karenanya, di setiap tahapan ibadah menjadi sebuah kegiatan yang berpahala dan mempunyai kebaikan dunia akhirat, bahkan sejak seseorang baru saja berniat untuk melakukan ibadah.
Di dalam pengantar ini, masih di lembar muqaddimah buku ini, saya ingin memberikan satu garis yang jelas bahwa sungguh pun nanti ada pengisahan-pengisahan yang sepertinya instan, SESUNGGUHNYA TIDAK ADA YANG INSTAN. Tidak ada yang sim salabim abrakadabra. Semuanya memiliki rentetan proses yang saling kait mengkait.
Contoh, anjuran memberi makan anak yatim dan atau menanggung sebanyak-banyaknya anak asuh, harus kita lihat sebagai "jam kerja" tambahan juga. Jam kerja/usaha ikhtiar buminya adalah ketika kerja dan usaha itu sendiri; ya di di toko, di warung, di kantor, di belanja keperluan usaha, di rapat ini rapat itu, di pertemuan bisnis ini dan itu. Sedangkan "jam tambahannya", ya ketika kita duduk bersama anak yatim dan mencari anak asuh tersebut.
Malah nanti akan dipaparkan, jangan-jangan yang jam utama adalah ibadah, baik ketika memberi makan anak yatim, shalat malam, atau lainnya. Dan yang jam tambahan, adalah segala urusan dunia.
Bekerja dengan Allah
Bekerja untuk Allah
Jadi, ibadah adalah sebuah sebuah ikhtiar juga, karena ia adalah kerjaan yang membutuhkan kesediaan waktu, energi, biaya, dan lain sebagainya.
Inilah yang disebut bekerja dengan Allah dan untuk Allah. Karena judulnya bekerja dan berusaha untuk Allah, ya ada bayarannya. Siapa yang bayar? Ya Allah! Dan karena bayarannya dari Allah, ya besarnya berbeda dengan bayaran hasil keringatnya sendiri. Subhanallah.
Kalau di bait-bait di atas contohnya adalah sedekah, sekarang kita coba ambil contoh lain lagi; yaitu shalat Malam.
Untuk bisa shalat Malam kita harus lembur mengorbankan waktu kita meski hanya sekadar dua rakaat. Ya, saya menyebut dua rakaat itu sebagai "lembur". Sebab, kan kita menganggap shalat Malam sebagai pekerjaan sambilan. Lagi bangun ya mengerjakan, tidak bangun, tidak mengerjakan. Malah tidak sedikit yang menganggap "pekerjaan" tahajjud sebagai pekerjaan yang nambah beban keletihan setelah sepanjang hari bekerja. Padahal, "sekadar" dua rakaat saja shalat Tahajjud, ternyata bayarannya jauh lebih besar daripada seorang karyawan bekerja seharian penuh. Mengapa bisa beda?! Sebab si karyawan bekerja di siang harinya dia bekerja untuk manusia. Sedang di waktu malam, dia shalat Malam, Allah menghitungnya sebagai ibadah. Ibadah'kan artinya menghamba sama Allah. Menjadi ‘abid-Nya, menjadi pelayan-Nya. Dan ini juga pekerjaan. Makanya, karena kerjanya sama Allah, maka bayarannya subhanallah pasti lebih besar daripada kerja sama manusia.
Lihat saja bayaran Allah untuk "pekerjaan" yang satu ini, pekerjaan tahajjud; siapa yang shalat dua rakaat di tengah malam, khairun minaddunyaa wa maa fiihaa, maka baginya lebih baik pahalanya (kebaikannya) di sisi Allah daripada dunia dengan segala isinya.
Pengalaman yang Menjadi Ilmu
Ilmu yang Menjadi Metode/Sistem
Berikut ini adalah contoh lainnya lagi. Yah, hitung-hitung pemanasan sebelum mukaddimah yang sesungguhnya dari buku ini. Contoh lainnya adalah sepasang suami istri sahabat saya, Haji Doni dan Hajjah Dian. Dia merasa ada yang aneh. Dia punya pekerjaan, sepi. Lalu "iseng" mengumpulkan anak yatim saban malam Jumat. Dari maghrib sampe isya. Maaf disebut iseng. Sebab dia emang melakukan dengan tidak berlatar belakang "ilmu". Pokoknya melakukan. Tapi siapa sangka bila kemudian dia menyadari bahwa pekerjaan mulai ramai. Proyek-proyek yang bersih, clear & clean mulai berdatangan. Akhirnya dia sadar, bahwa duduknya bersama anak-anak yatim itulah yang sudah menjadi pembuka jalan.
Nah, ini'kan pengalaman yang berbuah menjadi ilmu!
Hebatnya kawan saya itu kemudian menjadikannya metode. Dia jalankan terus sepenuh hati dan dengan keyakinan yang bertambah. Dia berusaha teguh tidak meninggalkan "pekerjaan isengnya". Sebab sekarang sudah dia jadikan pekerjaan utama, bukan sambilan lagi. Makananan yang disediakan buat anak-anak yatim itu pun berubah menjadi lebih terencana dengan menu yang semakin baik.
Kawan saya inilah yang kelak memproduksi film layar lebar KUN FAYAKUUN. Film yang menginspirasikan banyak orang di Indonesia tentang kekuasaan dan kebesaran Allah. Film yang kelak ditonton lebih dari 5 juta penonton ini dengan mudah dibesut oleh kawan saya ini, Haji Doni dan Hajjah Dian. Keduanya menganggap inilah hasil ikhtiar ibadahnya. Belum lagi lahir order-order iklan PSA (Iklan Layanan Masyarakat) dari banyak perusahaan dan departemen, berikut pemasangan iklan-iklannya di TV. Dia betul-betul mengaku berkah menjalani "pekerjaan sambilannya" itu.
Kini, bahkan metode ini dia "pasarkan" kepada kawan-kawannya yang lain untuk sama-sama dipercayai, diikuti, dan dirasakan manfaatnya. Ini bukan saja berbagi ilmu dan pengalaman, tapi berbagi metode, berbagi sistem, tentang bagaimana membuka jalan rezeki lebih banyak dan lebih besar namun tetap di jalan-Nya yang benar dan lurus.
Ibadah = Pekerjaan?
MPA (Manajemen Perusahaan Allah)
Sekarang kita lihat Haji Doni dan Hajjah Dian. Saban malam Jumat beliau berdua mencari anak-anak yatim, mengumpulkan, duduk bersama, dan menyenangkan mereka semua. Benarkah ini bukan pekerjaan?
Saudaraku, inilah pekerjaan. Bekerja dengan Allah dan untuk Allah; yaitu membahagiakan anak-anak yatim.
Benarkah dia cuma bekerja 1 jam? Dari maghrib sampe isya saja di setiap malam Jumat? Enggak juga. Perjalanannya sebenarnya lebih panjang dari "sekadar" 1 jam itu. Dia'kan harus belanja. Dia delegasikan tugas-tugas belanja dan masak ke orang rumahnya/ke pembantunya.
Ini saja, sudah seperti mengelola "MPA (Manajemen Perusahaan Allah)". Seakan-akan orang-orang rumahnya ada yang dia angkat sebagai manajer, sebagai pengelola keuangan, sebagai bagian purchasing (pembelian), stok (gudang), produksi (masak), dsb. Iya'kan?
Lalu berjuangnya dia mengosongkan waktu ashar di hari Kamis supaya sampai di rumah sebelum maghrib pun harus dilihat sebagai "jam kerjanya" juga buat Allah. Begitu selesai isya, anak-anak pun tidak langsung bubar, melainkan sedikit bercengkrama. Ini pun masuk dalam hitungan waktu bekerja dengan dan untuk Allah.
Belum lagi merapikan karpetnya, merapikan piring dan gelasnya, menyapu dan mengepel lantainya, dan mengembalikan ruang tamu, ruang TV yang terpakai oleh anak-anak yatim itu.
Inilah yang Allah suka; manusia mau menyisihkan waktunya untuk diri-Nya. Inilah juga yang disebut ibadah.
Apalagi'kan untuk bisa sedekah. Seseorang harus bekerja dan berusaha. Istilahnya. dari mana Haji Doni dan Hajjah Dian punya duit buat sedekah? Ya dari pekerjaan dan usahanya. Masya Allah!
Insya Allah akan coba dibahas juga di buku ini tentang ayat-ayat terakhir surah al-Jumu'ah yang membahas pengajaran tentang ibadah yang terkait dengan terbukanya pintu rezeki yang pengajaran ini berasal dari Allah, Khairurraziqin, sebaik-baik Pemberi rezeki.
Jalan Rezeki Utama
Ibadah Hidup, Ekonomi Hidup
Saudaraku, saya ulangi kembali kalimat di awal tulisan pengantar ini; selalu ada saja jalan tambahan rezeki yang membuat seorang manusia yang rajin ibadah, mau menambah jalan ibadah, dan juga berkenan untuk mengistiqamahkannya. Ini yang saya yakini! Malah, saya menyebutnya bukan tambahan rezeki, tapi jalan rezeki utama.
Dalam mengerjakan suatu ibadah, mengapa pula ia bisa membuat kita menjadi berkah? Sebab ada mata rantai ekonomi yang terjadi dalam satu praktik ibadah. Sebut saja barusan tadi; memberi makan anak yatim, bersedekah, shalat bersama anak yatim, wah, banyak sekali mata rantai ekonomi yang terbangun dengan sendirinya; membeli makanan, menggunakan jasa transportasi untuk ke pasar dan untuk mengangkut anak-anak yatimnya, menyediakan pakaiannya, dan masih banyak lagi. Berkah dah!
Masjidil Haram & Masjid Nabawi
Tidak aneh bila kita lihat bahwa di dunia ini ada dua pasar yang tidak ada matinya, yaitu pasar di sekitar Masjidil Haram di Makkah dan pasar di sekitar Masjid Nabawi di Madinah. Dua-duanya hidup 24 jam. Mengapa demikian? Sebab masjidnya hidup juga 24 jam. Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang tidak ada matinya. Hidup terus! Karenanya, seluruh rangkaian mata rantai ekonomi terbangun dan hidup pula; bisnis maskapai penerbangan, bisnis katering, bisnis hotel, bisnis pakaian, bisnis ini dan itu. Bahkan, berkahnya dirasakan juga oleh bangsa lain di negara yang lain. Indonesia misalnya. Jaringan hotel yang menjadi penginapan transit jamaah, pesawat Garuda dan seluruh keluarga besar karyawannya, katering lokal, transportasi bus yang mengangkut jamaah dan pengiringnya ke bandara, produsen bahan pakaian dan aksesori umrah dan haji, produsen bensin, dan sebagainya.
Subhanallah, Maha Suci Allah yang bila sudah menggariskan sesuatu, maka itu adalah penuh dengan kemaslahatan.
Apalah lagi kalau si manusianya, kita maksudnya, mau menjadikan segala sesuatu yang kita kerjakan sebagai jalan-jalan ibadah kepada-Nya. Maka Allah betul-betul akan "membayar" kita dengan ridha dan keberkahan dari-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar